Lima Belas

1.5K 177 32
                                    

Suara gemuruh penonton tertinggal di belakang. Gemuruh yang akrab dengan kehidupan seorang idola. Suara tepuk tangan, teriakan mengelukan nama. Ekspresi penuh binar. Gerak tubuh yang terbuai alunan lagu. Kamera ponsel yang mengarah ke panggung, merekam tiap detik pergerakan. Semua itu tertinggal di belakang sana. Salma sudah turun dari stage, berjalan tergesa menuju ruangan yang disediakan untuknya.

Tidak ada panggung yang tidak berkesan. Semua panggung mempunyai ruang kenangannya masing-masing. Salma punya banyak ruangan untuk menyimpan tiap kenangan dari tiap panggung yang sudah ia datangi. Semuanya menyenangkan.

Salma selalu suka melihat ekspresi tiap orang yang menontonnya. Binar bahagia itu sangat Salma sukai. Ia selalu suka tiap namanya disebut penuh keriangan. Hatinya selalu menghangat tiap kali penonton ikut bernyanyi dengannya.

Panggung musik adalah salah satu sumber bahagia Salma. Ia selalu jatuh hati pada suasana tampil di atas panggung dengan lautan penonton di hadapannya. Hal yang akan ia rindukan kalau lama tidak tampil di atas panggung.

Saat tampil di atas panggung tadi Salma tampak sangat bersemangat. Raut cerianya tidak luntur sedikitpun sepanjang ia tampil. Namun begitu turun dari panggung. Begitu ia kembali ke ruangannya. Salma diam saja. Energinya seolah habis. Padahal selama ini Salma selalu tampil ceria di segala kondisi. Tapi kali berbeda.

"Langsung balik ke hotel atau cari makan dulu nih?" Tanya Deni, salah seorang anggota band yang selama ini selalu menemani Salma tampil. Bahkan saat Salma memutuskan tidak memperpanjang kontrak dengan label dan manajemen sekalipun. Mereka tetap memilih menemani Salma.

"Gue balik ke hotel aja deh, bang." Sahut Salma. "Kalian kalau mau jalan-jalan gak apa-apa kok. Gue skip dulu deh. Pengen istirahat."

"Ke hotel dulu kali ya, sekalian anterin Salma dulu." Andre, anggota band yang paling tua bersuara. "Yang mau jalan ya silahkan, yang mau istirahat ya udah istirahat."

Usulan Andre langsung disetujui yang lainnya. Tanpa banyak bicara, mereka semua langsung membereskan segala barang bawaan. Tidak perlu waktu yang lama. Mereka semua siap untuk pergi dan saat akan meninggalkan ruangan back stage yang disediakan oleh panitia untuk Salma dan tim, seseorang berdiri di depan pintu masuk dengan senyuman lebarnya. Membuat mereka yang melihatnya menarik napas dalam sembari geleng-geleng kepala.

Rony, lelaki itu menyusul ke Bandung.

"Hai semua," Rony menyapa dengan senyuman lebar.

Sementara Salma, perempuan itu mengembuskan napas. Tidak mengira Rony akan muncul dihadapannya saat ini.

"Hai, istri." Rony mendekati Salma sambil mempertahankan senyumannya.

"Kenapa ke sini?" Bukannya membalas sapaan dari sang suami. Salma malah bertanya dengan nada yang ketus.

"Kok gitu nanyanya? Aku sengaja nyusulin kamu loh ini."

"Gak ada yang minta kamu nyusul," balas Salma. "Ayok, kak. Balik ke hotel." Salma menarik tangan Dewi. Membawanya meninggalkan Rony yang terpaku di tempatnya berdiri.

Memang benar tidak ada yang meminta Rony menyusul ke Bandung. Tapi nalurinya mendorong untuk menyusul Salma ke Bandung beberapa jam yang lalu saat pekerjaannya selesai. Mengingat istrinya itu sedang merajuk. Rony tahu ia harus membujuk dan cara yang menurutnya paling ampuh adalah dengan muncul di depan istrinya itu.

Jadilah Rony tiba di Bandung, segera menyusul ke tempat acara dan muncul di depan pintu ruang back stage Salma. Tapi reaksi Salma justru tidak seperti yang ia bayangkan. Salma masih nampak merajuk bahkan tersenyum pun tidak saat melihatnya tadi.

"Lo bikin salah apa sih, Ron?" Tanya Andre yang dijawab gelengan kepala oleh Rony.

"Gue gak bisa nemenin dia berangkat tadi pagi."

Menetap (sekuel Kembali) ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang