ᡣ𐭩 Bab 6. Berubah ᡣ𐭩

51 15 0
                                    

Surya hadir menyambut para manusia, namun awan hitam menutupi kehangatan sinar mentari itu, rintik hujan turun genangi bentala. Nadha menarik selimutnya, ia memeluk Vanilla—bonekanya dengan erat. Mata Nadha tampak sembab, ia kemudian bangun dan memandang jam dinding. Jam dinding menunjukkan pukul 5, suatu hal yang langka Nadha dapat bangun di awal hari. Nadha duduk lalu bersandar di dinding, ia memutar berulang kali kotak musiknya. Ia memutuskan untuk mandi, namun ia mengurungkan niatnya. Ia pergi ke balkon rumah, dan menyibak tirai yang menutupi pintu kaca. Rintik hujan masih turun, namun tak sederas kemarin. Nadha berjalan perlahan mendekati pagar balkon dan bersandar, ia menghirup udara pagi yang segar. Bulir air membasahi wajah Nadha, segera rambutnya basah oleh air hujan. Namun, Nadha tak peduli dan membiarkannya membasahi wajahnya. Seakan ia membiarkan semua itu terjadi.

Tanpa sadar, Amanda memperhatikan anak gadisnya dari ambang pintu dengan senampan susu coklat dan roti selai srikaya. Amanda meletakkan nampan itu di meja belajar Nadha, dan mendatangi Nadha. Amanda membelai halus pipi Nadha dan tersenyum. Nadha terkesiap, ia menoleh dan membalas senyuman Amanda.

"Pagi bunga matahari bunda," tutur Amanda sembari membiarkan anak gadisnya mendusel dalam pelukannya.

Nadha tak menolak pelukan dari sang ibunda, ia menumpahkan isi pikirannya yang berisik ke ibundanya. Amanda mangut-mangut dan menarik Nadha untuk masuk, karena hujan turun semakin lebat. Amanda mendudukkan Nadha di tepi kasur, Amanda mengambil nampan sarapan Nadha dan meletakkannya di sampin Nadha. Amanda lalu duduk disebelah Nadha dan kembali mendekap hangat Nadha di pelukannya.

"Anak bunda hebat."

Bulir air bening meluncur dari indra penglihatan Nadha. Bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu, namun sebelum ia berbicara, Amanda menyambung kalimatnya.

"Bunda bangga banget sama kamu, bakat menulismu, bakat menggambarmu, dan semua, bunda ga perlu nilaimu bagus di materi yang tak kamu suka sayang," sambung Amanda.

Akhirnya tangis Nadha pecah, manusia selembut Amanda lah yang mampu membuat tangisnya pecah. Ia menangis tersedu-sedu, ia akhirnya menceritakan kejadian kemarin. Sebagai seprang ibu, Amanda tak henti-henti nya memberikan support dan nasihat kepada Nadha.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚

Di tempat lain, Mahen membungkus dirinya dengan selimut. Ia tertidur lelap, ia tak menggubris suara alarm yang membangunkannya. Pada akhirnya, Mahen membuka mata dan duduk untuk mengambil nafas dan meregangkan otot-ototnya. Mahen berdiri dan menata kasurnya. Menyapu lantai, mengepel, mempersiapkan bekal sendiri, itu adalah rutinitasnya sehari-hari. Rumahnya terasa kosong, terlebih lagi setelah Amina pergi ke rumah neneknya di Solo. Mahen meratapi meja makannya yang kosong, tak ada senda gurau disana. Hanya debu yang mengisinya. Mahen mengambil lap basah, mulai membersihkan meja berdebu itu dan menata beberapa barang. Tak sadar, memori masa lalu berputar di dalam ingatannya.

Flash Back.
———————————————————————————
Mahen berlari kearah seorang pria jangkung dan berkulit putih, tak lain adalah ayahnya. Pria itu menatap Mahen dan menggendong Mahen lalu memutarnya di udara. Mahen tertawa lepas dan turun kembali setelah ayahnya menurunkannya.

"Papa papa! nanti lebaran pulang kan sama mama?" celotehnya.

Ali—ayahnya tersenyum sendu, ia membelai lembut kepala Mahen dengan penuh cinta. Fatimah ibundanya hanya menahan tangis di balik pintu dengan susah payah, dan berusaha terlihat tetap ceria. Ali menekuk lutut lalu menatap dalam mata Mahen.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now