ᡣ𐭩 Bab 9. Ceroboh ᡣ𐭩

38 14 0
                                    

"Baik om, saya mengerti..."

Mahen tengah duduk di ruang tunggu, ia baru saja terkena omelan oleh ayah Nadha. Mahen merasa bersalah karena ceroboh membiarkan Nadha memakan udang yang ada di rotinya. Ia bersandar pada dinding rumah sakit yang dingin, hingga seorang perawat keluar dari ruang UGD.

"Atas nama pasien Nadha Jyena Agatha?," ujarnya sembari membolak-balik kertas.

Mahen berdiri dan mengangguk, mau tak mau karena seluruh keluarga Nadha sibuk, Mahen lah yang menemaninya ke rumah sakit. Perawat menjelaskan bahwa kondisi Nadha membaik, dampak alergi nya sudah perlahan pulih. Mahen akhirnya masuk ke ruang UGD dan mendapati Nadha yang tengah bersandar di kasur. Mahen mendekati Nadha, namun langkahnya terhenti ketika Nadha tersenyum kepada arah lain. Ternyata, Candra duduk di sebelah Nadha sembari mengupas jeruk. Nadha mengambil beberapa potong dan memakannya. Mereka tengah besenda gurau saling mencubit. Sesuatu rasa tiba-tiba membuatnya merasa gusar, ia berbalik badan dan berjalan pergi. Rasa yang bukan seperti api namun panas membakar hati.

Mahen berjalan ke sebuah taman, ia menatap dedaunan rindang. Mahen duduk diatas bangku taman dan sedikit membungkuk kan badannya, ia memijat-mijat pangkal hidungnya. Matanya terasa panas, antara mengantuk atau luapan emosi yang terpendam lama. Ia sebetulnya tak ingin memainkan permainan taruhan cinta, namun emosi sesaat membuatnya kalah dengan ego hingga akhirnya ia terjebak diantara permainan ini. Ia lalu bersandar pada bangku yang tengah ia duduki, ia dan Nadha hanya sebatas teman dekat. Dengan hanya tugas tambahan menjadi sopir dan penjaga. Ia menghela nafas panjang, ia memejamkan mata membiarkan angin dingin menusuk kulitnya.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚

"Mahenn!..."

Sebuah teriakan membuatnya terbangun, tak sadar ia tertidur diatas bangku taman. Ketika ia membuka mata, sepasang mata indah coklat memandang lekat pada manik matanya. Nadha menatap Mahen dalam jarak yang dekat. Mahen terperanjat, ia lalu membetulkan posisi duduknya, terdapat bekas infus di tangan kecilnya itu. Nadha tersenyum lebar, ia lalu menunjukkan sekantong obat penuh di hadapan Mahen.

"Lihat! aku dikasi obat sebanyak ini, katanya...Anafilaksis ku tambah parah."

Mahen menatap kantong obat yang Nadha bawa, ia meraihnya dan lalu berdiri meregangkan badan. Ia merasakan pipinya yang basah, segera ia menyekanya dengan tisu basah.

Mahen meraih tangan Nadha dan mengusap-usap punggung tangannya dan berkata. "Yuk pulang, bunda lo cemas nungguin lo di rumah."

Namun Nadha menggeleng, ia lalu menunjuk Candra yang ternyata sedari tadi menunggu mereka dengan seringai khasnya.

"Bunda bilang, sementara gue pulang sama Candra," ujarnya sembari meraih kembali obat yang Mahen genggam.

Mahen menggengam erat kantong obat Nadha. Ia bertanya kembali untuk memastikan, "Lo yakin?"

Nadha mengangguk, lalu meraih kembali obat miliknya. Mahen melepas genggaman jari-jemarinya dan membiarkan kantong obat itu kembali ke sang pemiliknya. Nadha berjalan kearah Candra yang tengah memainkan kunci mobilnya, Mahen merasakan punggungnya yang berat, Nadha melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan. Namun Mahen tak membalas, ia melihat ke arah lain, ia lalu melenggang pergi kembali ke parkiran motor.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚

Motor yang ia tunggangi kini melaju sangat cepat, melesat dan membelah keramaian ibu kota. Mahen menuju ke suatu tempat, tempat yang amat ia rindukan. Ia tiba di sebuah kuburan umum, ia turun menenteng sekantong penuh bunga. Ia berjalan mendekati suatu makam, ia duduk di sebelah makam itu lalu membersihkan dedaunan kering. Mahen menaburkan bunga diatasnya, tanpa sadar air mata mengalir deras. Ia tak mampu mencegahnya, ia terdiam beberapa saat sebelum berbicara.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now