ᡣ𐭩Bab 17. Teror ᡣ𐭩

26 11 1
                                    

"Hum? yang bener?"

Nadha sontak terkejut ketika ia mendengar cerita dari Mahen. Beberapa jam sebelumnya ia di hadang sekelompok pria bertubuh besar yang mengepung dan langsung menghantamnya dengan balok. Beruntung ia mengenakan helm, sehingga ia hanya jatuh dan melarikan diri dengan langsung menancap gas. Sontak Nadha mengapit pipi Mahen dengan kedua tangannya dan menelisik wajah sahabatnya itu.

"Kamu gapapa kan?" tanya Nadha khawatir.

Semburat merah jambu memenuhi pipi Mahen.
Ia langsung memalingkan wajah dan menepis tangan Nadha.

"Gue gapapa, jangan khawatir."

Saat ini mereka tengah berada di balik tembok kantin, di sebuah bangku tua tempat mereka suka bercengkrama. Nadha terus-terusan meneguk es cekek yang ia beli di pedagang kaki lima. Mahen hanya memandang wajah Nadha yang tampak tak berdosa untuk menyembunyikan hal ini dari orang tua nya. Mendadak tiba-tiba Sarah muncul dari balik tembok, membawa sebuah gantungan kunci.

"Nadha, ini punya lo kan?"

Nadha menoleh, ia melihat Sarah membawa gantungan kunci bebeknya penuh noda lumpur. Ia lalu merengek kearah Mahen. Mahen lalu merogoh sapu tangannya dan membersihkan noda lumpur yang menutupi gantungan kunci wajah imut bebek milik Nadha.

Nadha merasa girang. "Gue kira tadi hilang! Makasih ya Sar!"

Sarah mengangguk. "Sama-sama, by the way kalian ngapain mojok disini? banyak nyamuk loh."

"Kabur dari Candra," jelas Nadha terkekeh sembari membuang plastik sisa es cekeknya.

Sarah membulatkan mulut, akhirnya mereka bertiga beristirahat di bawah naungan pohon mangga rindang. Hingga bel berbunyi, mereka pun berjalan kembali ke kelas. Mahen merasa masih cemas, ia hanya diam sepanjang pelajaran.

Hingga saat pulang, Mahen mengendarai motor membawa Nadha bersama dengan dirinya. Saat mereka tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba Mahen menyadari segerombol motor yang mengikutinya. Walau jarak mereka cukup jauh satu sama lain, namun mereka tak akan lepas dari sorot mata tajam milik Mahen.

"Nad, kita mampir toko buku kaya biasa dulu yuk?"

Nadha mengernyitkan dahi. "Tumben, lo ga bersih-bersih emang?"

Mahen menggelengkan kepala. Akhirnya mereka sampai di sebuah toko buku kesukaan Nadha. Lebih terkejutnya, dari jauh ia bisa menangkap sosok Candra di sebuah supermarket tengah membeli rokok. Mahen hendak menyampaikannya kepada Nadha. Namun ia mengurungkan niat, mengingat pesan dari ayah Nadha kemarin.

"Apa mungkin...." batin Mahen.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚

Sang fana langit jambu telah redup, berubah menjadi gelap gemerlap di antara langit Jakarta. Mahen tengah memasak sebungkus mi rebus. Di saat remaja seumurannya kerap pergi ke restoran mahal, ia hanya menikmati sebungkus mi di tengah malam itu. Tak heran bahwa ia memiliki tubuh kurus. Mahen menyantap mi hangat itu, dan membuka jendela kamarnya yang menghadap taman. Ia meraih gitar yang tergantung di dinding kamar dan mulai memetik senar dan memainkan beberapa not. Hingga tiba-tiba cahaya putih cepat tertangkap hingga menganggu matanya, terlihat seperti flash kamera.

Mahen sontak berteriak. "Siapa itu!?"

Tak ada jawaban, karena ia penasaran. Ia keluar kamar dan berjalan ke arah taman.

"Perasaan gue yakin, ini asal cahayanya dari sini."

Mahen menggerakkan bola matanya secara liar. Ia lalu tiba-tiba terperanjat karena listrik di rumahnya mendadak mati.

"Sekarang apa lagi Ya Allah?"

Mahen berjalan ke arah sumber listrik di rumahnya. Ia lalu menyalakan saklar dan tiba-tiba ia merasakan suatu hawa aneh. Dengan reflek, ia melayangkan sebuah bogem mentah ke arah belakang. Benar saja, ada pria berkupluk hitam yang langsung mengerang. Mahen sedikit tercengang, ia lalu mundur beberapa langkah.

"Siapa lo!?" tanya Mahen dengan terengah-engah.

Pria itu tak menjawab, pria itu tiba-tiba menerjang Mahen. Dengan tubuh atletisnya, Mahen mengelak dan menangkis serangan pria itu. Namun dengan kekuatannya, pria itu mendorong Mahen hingga terpelanting di dinding.

Mahen bangkit dan bersiap-siap kembali mempertahankan dirinya. Mahen menerjang ke arah pria itu dan mereka kembali saling adu pukul. Saat Mahen hampir di titik lemah, ia menahan sakit di perutnya yang berulang kali terkena pukulan maut.

Sialnya, pria itu mengeluarkan pisau dari kantongnya. Mahen terbelalak, ia mundur beberapa langkah. Ia memutuskan untuk lari, namun tiba-tiba pria itu menerjang ke arah Mahen. Dengan kesigapannya, Mahen menahan mata pisau yang tertuju pada nadinya itu untuk melukai lehernya.

Dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan pisau itu, hingga banyak air kental merah darah yang jatuh menetes dari telapak tangannya. Pada akhirnya pria itu menyerah dan berlari keluar. Mahen memandang telapak tangannya yang terluka hebat, ia merintih kesakitan dan meraih ponselnya yang terletak tak jauh dari meja belajarnya. Namun apa daya, ia tak mampu menekan kontak siapapun karena kepalanya yang mulai terasa berat.

"Sial, gue gamau Nadha telat sekolah—" Mahen ambruk ke tanah dan pingsan untuk waktu yang lama.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now