ᡣ𐭩 Bab 15. Awal Dari Semua ᡣ𐭩

25 13 2
                                    


‼️Ada Adegan Kekerasan‼️🔞

***

"Iya sorry ya hun, aku gabisa nganter dulu."

Nadha mematikan teleponnya dan duduk di atas kursi halte. Barusan Candra menghubunginya bahwa ia tak bisa mengantar Nadha pulang ke rumah. Ia memandang sekelilingnya, langit jingga mulai datang menutupi langit Jakarta. Burung-burung berterbangan membentuk pola mengucapkan selamat tinggal pada langit. Nadha bersandar pada dinding halte menunggu bus untuk pulang, sampai seorang laki-laki duduk di sebelahnya.

"Yang katanya mau sampai nikah, kenapa ditinggal sendiri di halte?" Mahen duduk sembari membuka kaleng soda dan meneguknya.

Nadha tertunduk. "Mau gimana pun juga dia ada kesibukan."

Mahen mengernyitkan dahi. "Apa kesibukannya selain main billiard dan main cewe?"

Nadha reflek menoleh dan terkejut, "Maksud lo!? jaga ya mulut lo."

Mahen terkekeh dan bersandar pada pundak Nadha, "Gue kangen lo Nad."

Nadha hanya bergeming, ia menyadari bahwa telah lama ia dan Mahen tak bersama. Perlahan gelap telah menutupi sebagian langit, tepat air hujan mulai berjatuhan, semakin deras semakin membuat hawa menjadi dingin.

"Nad."

Nadha menoleh, tiba-tiba ia merasakan pundaknya basah. Ternyata, selain air hujan, air mata Mahen turun deras membasahi pundaknya. Nadha mengangkat kepala Mahen, Mahen berusaha menyeka air matanya.

"Kenapa? lo sakit?" tanya Nadha dengan cemas.

Mahen menggelengkan kepala. "Gapapa."

Petir menyambar langit Jakarta, hujan turun semakin deras memaksa semua manusia untuk mendekam di rumah mereka masing-masing. Manusia yang masih berada di luar rumah nemilih berteduh pada tempat teduh dan hangat. Namun, tidak untuk Candra. Ia berada di dalam mobil miliknya dan memandang mereka dari kejauhan, ia mengepalkan tangannya dan turun berjalan membelah hujan. Ia berjalan mendekati mereka berdua dan langsung menarik tangan Nadha.

"Kita pulang sekarang."

Nadha terperanjat, begitu juga dengan Mahen. Mahen berusaha menahan tangan Nadha, membuat Candra semakin geram.

"Mau lo apa sih bangsat!?"

Mahen menatap tajam Candra dan menarik tubuh Nadha ke belakangnya, "Jangan kasar sama Nadha."

"Lo siapa? bapaknya? lo bukan siapa-siapa jadi jangan ikut campur." Candra menyunggingkan senyuman dan menyeka air hujan yang membasahi rambutnya.

"Tentu gue ikut campur karena gue dibayar buat jaga Nadha." sergah Mahen sembari melinting jaketnya.

"Dan gue sebagai pacarnya, punya hak lebih buat Nadha, lo cuman supir yang dibayar buat anyar jemput Nadha. So you better go before i'll crush you." Candra menatap tajam kearah Mahen sembari berusaha meredam emosinya.

"Pacar apa yang tega ninggalin pacarnya dengan alasan gabisa jemput karena sebenernya lo pergi bareng cewe lain?"

Candra tercengang, ia menggertak giginya dan hampir melayangkan bogem mentah ke rahang Mahen. Mahen mengelak dan memutar lengan Candra hingga Candra berteriak kesakitan.

"Bangsat lo Mahen!" Candra berteriak mengancam Mahen.

"Bangsat ngatain bangsat? ga salah?" Ujar Mahen sembari terus memutar lengannya di belakang pundak.

"PANTES ORANG TUA LO NINGGALIN LO! INI SEMUA KARENA MEREKA GAMAU PUNYA ANAK KAYAK LO!"

Gertakan Candra berhasil membuat Mahen melepas kunciannya. Candra pun kembali menggertak Mahen. Namun, sebelum Candra melanjutkan kalimatnya, Mahen mengangkat tangannya di udara untuk melayangkan tamparan, namun Nadha tiba-tiba menghalangi tubuh Candra dan ia lah yang terkena tamparan itu. Candra dan Mahen terkejut, Nadha mengusap pipinya dan menangis.

"Aku mohon, tolong berhenti bertengkar."

Mahen tersentak, "Na-Nadha."

Nadha menarik tangan Candra untuk pergi, namun sebelum mereka pergi, Mahen berteriak.

"Kenapa Nad!? KENAPA!?"

Nadha berhenti, ia menoleh dengan bekas tamparan di wajahnya yang masih membekas.

"Candra bener, lo ga punya hak apa-apa selain jemput dan jagain gue. Jadi mulai sekarang, hubungan kita sebatas antara teman biasa."

Kalimat itu berhasil membuat Mahen terdiam bak tertancap ribuan panah. Mahen menatap kosong kepada Nadha. Nadha dan Candra melenggang pergi meninggalkan Mahen yang membeku di sana.

Awal dari hancurnya wajah Mahen yang selalu nampak hangat dan teduh. Kemana ia akan pulang sehabis ini? selain kepada sahabatnya, ke dekapan hangat sahabatnya. Perlahan Mahen mengepalkan jari-jemarinya, menggumamkan kalimat yang sebelumnya Nadha tekankan.

"Iya, gue sebatas supir."

Mahen tertawa, ia menyibakkan rambut basahnya dan tersenyum melepas Nadha yang pergi menghilang di antara rintik hujan.

"Nadha, kalau andaikan waktu itu gue yang duluan nembak lu, gue bisa kan? jadi lebih baik dari Candra?"

Mahen meraih tas nya dan pergi berjalan ke arah motornya. Ia mengendarai motornya tak mempedulikan hujan yang seakan menghinanya. Saat ini cahaya hatinya meredup, ia merasa sangat hancur. Ia paham, Nadha memiliki dunianya sendiri. Namun? apa yang harus ia lakukan jika Nadha adalah dunianya?

"Nadha, i promise to protect you. Dengan sepenuh hati dan raga gue."

Deru motor membelah suara hujan, hujan yang cukup lama datang. Mahen pergi entah kemana, berusaha menenangkan kepalanya yang berisik.

Sementara di dalam mobil, Nadha berusaha menahan sakit di pipinya. Candra yang masih merasa emosi hanya diam tak memedulikan Nadha. Sebelum mereka sampai di rumah Nadha, sebuah pesan notifikasi muncul di layar ponsel Candra. Sontak Candra menyambar ponselnya dan meletakkannya di dalam kantongnya.

"Renata itu siapa?" selidik Nadha.

Bukannya menjelaskan, Candra malah marah, "Itu bukan siapa-siapa, lain kali jangan lihat hp gue tanpa izin gue, Lancang."

Nadha tersentak, ia lalu menunduk dan perlahan menatap ke luar jendela.

"Lo sebenernya bener-bener cinta gue ga sih? Kenapa sekarang lo punya banyak kontak cewe?"

Candra menghentikan laju mobilnya, "Jadi sekarang lo percaya Mahen?"

Nadha terkejut. "B-bukan gitu, maksud gue,"

"Ah! Sudahlah! kalau lo memang percaya sama orang itu, kita putus sekarang juga." ancam Candra.

Tentu Nadha seketika menangis dan panik ia tahu bahwa ia salah berucap. "Ga gitu, gue cuman."

Candra meraih pundak Nadha dan tiba-tiba mengecup singkat bibir Nadha. Nadha terperanjat, pipinya merah merona mendapat perlakuan itu,

"Kalau gitu, jangan pernah sedikit pun bahas Mahen bareng gua baik dalam kondisi apapun tentang. Inget itu," ujar Candra sembari menatap tajam ke arah Nadha dan menekankan kalimat.

Nadha pun mengangguk, mereka melanjutkan perjalanan pergi kembali ke rumah mereka masing-masing.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now