ᡣ𐭩Bab 22. Kesempatan emasᡣ𐭩

18 9 0
                                    

"Serius Mahen mau jadi polisii?" Mata Nadha kecil berbinar-binar sembari mengunyah cemilan yang telah Amanda siapkan.

Mahen mengangguk mantap sembari menggores guratan warna di atas kertas gambarnya. Sebuah gambar polisi berpakaian lengkap buatan Mahen. Nadha pun meminta tolong kepada Marcell untuk memasangkannya di dinding. Mahen berkacak pinggang dan tampak puas atas hasil gambarnya.

"Yey! bagus kan??"

Nadha mengangguk. "Mahen gambar pak polisi, Nadha gambar kakak perawat!"

Mereka nampak puas atas gambaran mereka masing-masing dan saling bertukar pandang.

Mahen dan Nadha saling mengaitkan jari kelingking dan tersenyum.

"Janji sahabat selamanya! Gapai cita-cita kita bersamaa!!"

"Janji sahabat selamanya! Gapai cita-cita kita bersamaa!!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚

Mahen tersadar dan terbangun di atas sebuah kasur dingin. Ia menatap ruangan lenggang putih berbau obat menusuk yang ia langsung mengenali tempat itu.

"Tante..."

Mahen berdiri dan menatap meja milik bibi Mahen yang berantakan. Bibi Mahen adalah seorang dokter Kardiologi yang menangani penyakit Mahen. Walau tak terlalu berbahaya, namun tentu setiap bulan wajib dilakukan pengecekan pada kondisi jantung Mahen. Mahen menyambar kertas laporan kesehatannya dan memasukkannya ke dalam tas.

Ia melaju dengan motor kesayangannya menuju ke arah sebuah gedung bercatkan merah menyala. Namun sebelumnya, Mahen membeli 2 buah es krim kesukaannnya dan Nadha di swalayan terdekat. Ia turun dan melihat Nadha yang menunggunya di ambang pintu.

"Soree cantik."

Nadha menoleh, karena awalnya ia fokus pada lembaran kertas pekerjaan rumahnya.

"Ihh, aku bilangin ke Bunda nih ada cowo genit." ancam Nadha sembari terkekeh dan langsung melahap es krik yang Mahen beri.

Mereka pun naik ke atas motor. Dan melaju dengan kecepatan sedang. Mereka menikmati angin semilir udara ibu kota. Saat ketika Mahen menatap sebuah gedung olahraga di pinggir lampu merah.

"Kenapa? lo pernah kesana?" tanya Nadha sembari menyembul di balik pundak Mahen.

Mahen mengangguk. "Gue dulu pernah ikut pencak silat."

Nadha membulatkan bibir. "Wihh kerenn! sampe sabuk mana?"

Mahen melaju motornya sembari tersenyum karena antusiasme Nadha. "Gue ikut pagar nusa jadi sampe di sabuk hijau badge biru."

Nadha membentuk guratan indah di bibir dan memeluk tubuh Mahen.

"Orang secakep kamu dan sehebat kamu kok jomblo sih."

Mahen tersenyum. "Lo tau kenapa?"

Nadha menggeleng dan bertanya. "Kenapa?"

Mahen kembali tersenyum dan mengenggam tangan Nadha. "Karena gue nunggu gadis cantik yang selalu merepotkan gue, bikin ganggu penampilan band gue."

Nadha tertawa. "Selera lu jelek amat? najisss!"

Mereka tertawa bersama di atas motor. Sampai saat mereka berhenti di lampu merah, seorang pria tua memanggil Mahen.

"Mahen!"

Mahen dan Nadha kompak menoleh dan Mahen menyadari bahwa itu adalah guru lama di perguruannya.

"Mas Imam?"

Mahen berhenti dan bersalaman dengan pria itu. Nadha ikut turun dan membungkuk memberi salam. Mas Imam adalah mantan coach pencak silat perguruan pagar nusa yang pernah Mahen ikuti. Ternyata, Mas Imam menawarkan kesempatan mengikuti kembali pencak silat. Terdapat turnamen yang bisa Mahen ikuti, dengan hadiah yang tak main-main. Yakni beasiswa mendaftar ke Akademi Kepolisian, tentu ini adalah kesempatan emas bagi Mahen. Mata Mahen langsung berbinar.

"Mas Imam serius??" tanya Mahen tak percaya.

"Kapan saya bohong ke kamu? saya yakin kamu pasti bisa Mahen, terutama kamu dulu murid saya yang paling menguasai teknik." jelas Mas Imam sembari mengenggam tangan Mahen.

Mata Mahen kembali berbinar cerah dan terang, ia bertekad bulat untuk memenangkan turnamen itu.

"Pak mohon bantuannya pak! mohon bantuannya!" ujar Mahen sembari menggengam erat dan mencium punggung tangan pria itu.

Nadha bernafas lega, ia yakin bahwa Mahen akan memenangkan pertandingan itu.

Di hari-hari berikutnya Mahen kembali berlatih mengulang setiap gerakan silat yang ia telah kuasai. Nadha antusias untuk selalu mengikuti Mahen kemana saja ia akan latihan. Tat kala Nadha harus mengobat anggota tubuh Mahen yang terluka akibat latihan yang begitu berat. Walau Mahen hampir menyerah ia tetap kuat dan yakin bahwa ia akan memenangkan turnamen itu walau sudah 2 tahun lamanya ia tak mengikuti kembali pencak silat.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now