ᡣ𐭩Bab 25. Rencana ᡣ𐭩

13 5 0
                                    

"PAPI AMPUN! PAPI MAAFIN CANDRA!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"PAPI AMPUN! PAPI MAAFIN CANDRA!"

Layangan tongkat golf, pukulan dan tendangan terus berpacu mengenai sasaran empuk yakni Candra. David memukulinya sampai-sampai saking terbawa emosinya ia menyundut tangan Candra dengan puntung rokok.

"ANAK SIALAN! SAYA PERINTAHKAN KAMU UNTUK MEMPERTAHANKAN HUBUNGAN BISNIS KITA DENGAN KELUARGA BAJINGAN ITU! SEKARANG MALAH BENAR-BENAR IA MEMUTUS KONTRAK DENGAN KITA!"

David terus memukuli Candra hingga Candra tak berkutik. Wajahnya lebam-lebam, Candra hanya memohon untuk berhenti sembari memeluk kaki ayahnya.

"Papi, maafin Candra...Candra—" ucap Candra sembari tersedu sendat.

"JANGAN PANGGIL SAYA PAPI! ANAK BEBAN DAN SIALAN SEPERTI KAMU TIDAK PANTAS UNTUK MEMANGGIL SAYA PAPI!"

Satu layangan bogem mentah mengenai tepat batang hidung Candra. Candra terjengkang dan pingsan di tempat, Wulan yang tak tega melihat hal itu langsung berlari memapah tubuh anak tirinya itu.

"Mas, mas tega sama Candra!? Istighfar mas!" Wulan memohon kepada David sembari menyeka darah yang terus keluar dari hidung Candra.

David mengerang. "ARGH! SUDAH! SAYA MAU KELUAR!"

David melenggang pergi membanting tongkat golf yang ia genggam erat tadi. Wulan memapah tubuh Candra sampai ke kasurnya dan berlari ke arah dapur.

"Mbok! siapin air dingin sama obat merah ya!"

Dengan tergopoh-gopoh asisten rumah tangga membawakan baskom air dingin dan obat merah. Wulan segera mengompres luka-luka lebam baik di wajah maupun tangan Candra. Candra merintih kesakitan ketika Wulan mengobati perutnya yang biru akibat pukulan tongkat golf.

Candra bergumam. "Mami...sakit."

Wulan terkejut dan memberi tatapan tak percaya ke pada Candra. Ia merasa senang bahwa Candra memanggilnya dengan sebutan mami. Namun rasa senangnya harus pudar ketika Candra membuka mata.

"Tante," rintih Candra sembari menahan sakit dengan sedikit mengerang.

"Iya sayang, tante disini. Kamu istirahat ya?" pinta Wulan lembut sembari mengelus-elus rambut Candra yang terpaksa di potong akibat terbakar oleh puntung rokok David.

Wulan beranjak dari kasur dan pergi dan menutup pintu dengan lembut. Perlahan Candra duduk dan meremas rambutnya.

"Sial..sial..."

Candra bergumam lalu meraih ponselnya. Ia menekan kontak seseorang dan mulai berbicara dengan seseorang.

"Jemput gue," ujar Candra singkat.

Candra meraih hoodie yang tergantung di belakang pintu dan mengenakannya. Ia keluar lewat balkon dan melompat melewati pagar yang cukup dekat dengan balkonnya. Suasana malam itu sangat sunyi, semua telah terlelap kecuali Candra yang menemui seseorang.

"Apa kabar bos? sehat? ada bonyok?" sapa seorang laki-laki dengan tato naga di lengannya sembari terkekeh.

Ia mengendarai sebuah mobil sport berwarna merah dengan rokok di jarinya.

Candra melepas kupluk hoodienya. "Bacot, anter gue ke bar punya Prana."

Laki-laki bernama Zaka itu pun mengangguk dan masuk ke dalam mobilnya. Di sepanjang jalan pandangan Candra kosong, namun ia seperti mengumamkan sesuatu. Zaka yang kerap menemani Candra pun hanya diam karena tau bahwa Candra sedang kalut dalam emosi.

Mereka sampai di depan sebuah gedung diskotik milik salah satu teman Candra. Ia turun dan mengenakan kupluknya kembali. Sampai disana bau alkohol dan rokok mulai menusuk hidungnya, tanpa sadar Candra pun mulai menghisap rokok juga, sampai salah satu gadis datang.

"Jiakh si muka bonyok dateng!" sapa gadis itu.

Candra menoleh dan menhembuskan asap. "Diem lo munafik."

Gadis yang mengenakan gaun merah panjang itu tertawa dan menarik tangan Candra untuk duduk di salah satu kursi. Zaka ikut duduk dan mereka pun menunggu Prana untuk datang. Selang 30 menit kemudia Prana datang sembari menenteng plastik dan minuman kopi.

"Yo! wassup brother," sapa Prana sembari merebahkan tubuh di kursi.

Candra hanya membuang muka dan meneguk air yang ia pesan di pelayan bar.

Prana yang tahu maksud kedatangan Candra pun tersenyum. "Gimana? lo ga di siksa bokap lo kan?"

Zaka dan gadis yang tadi menyapa Candra pun bertatap-tatapan. Dengan berat hati Candra melepas kupluknya dan menunjukkan memar dan luka di sekujur wajahnya.

"Buset, ini mah kalah sama siksaan neraka." ejek Prana sembari ternganga melihat luka di wajah Candra.

"Gue capek, gimana caranya gue bisa singkirin Nadha sama Mahen?! Gue bahkan udah bayar juri waktu turnamen Mahen buat dia kalah! Tapi bokap gue masih ga puas, belum lagi si perusak hubungan rumah tangga bokap nyokap kandung gue itu sok banget ngerasa iba."

Jelas Candra sembari meneguk kopi yang Prana berikan. Prana dan Zaka bertatap-tatapan, namun tiba-tiba gadis yang bersama mereka itu menyeletuk.

"Kenapa ga lo hilangin paksa?" celetuk gadis yang kerap di sapa Ziva itu.

Candra langsung membanting kopi yang ia minum. "Terus lo mau apain? Yang ada malah gue dibunuh detik itu juga sama bokap gue!"

Ziva menyunggingkan senyuman. "Buat dia hancur."

Candra terpaku. "Maksud lo?"

Ziva kembali menjelaskan. "Waktu itu bokap gue nyuruh orang buat culik anak pemilik bisnis lain, dan ditahan."

Ziva mendekati telinga Candra dan berbisik, Candra yang masih terpaku pun seketika tersenyum.

"Ide lo bagus, lo mau tolongin gue?" tawar Candra.

Ziva tersenyum licik. "Fulus dan mulus."

Zaka dan Prana yang terheran-heran pun hanya bisa pasrah dan diam oleh duo itu.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now