ᡣ𐭩Bab 19. Panggilanᡣ𐭩

26 11 1
                                    

Namun siapa sangka? bahwa Nadha dan Mahen kembali berbaikan. Layaknya tali hati yang awalnya berpisah kini kembali terikat. Walau Nadha masih merasa jengkel, ia tetap masih menggelayut manja pada Mahen.

Itu lah Nadha, ia lah yang paling banyak bercerita di banding mendengarkan. Layaknya matahari dan bulan Mahen dan Nadha selalu bersama. Namun kemunculan sang bintang membuat sang matahari pun terayu akan janji manis.

Tatkala Mahen harus menghadapi sifat manja dan pemalas Nadha. Namun, ia adalah satu-satunya rumah yang Mahen miliki. Namun, setelah kejadian kemarin yang membuat Nadha murka kepada nya, membuat hubungannya dengan Nadha renggang.

Hari ini Mahen berniat untuk mencari pundi-pundi rupiah dengan mengikuti salah satu temannya untuk memainkan musik di ruang terbuka, alias ngamen. Ia datang sendiri dengan membawa gitar.

"Maaf telat!" ujar Mahen sembari berlari tergopoh-gopoh.

Beberapa laki-laki dengan alat musik yang telah tertata rapi dan jaket hitam nampak lega karena Mahen tiba sesuai janji. Mahen dan kawan-kawan mulai menyanyikan lagu, mereka nampak bahagia. Sampai, suara dering telepon terdengar.

"Kanjeng ratu lagi hen?" celetuk Nata, salah satu teman Mahen.

Mahen terkekeh, ia mengangkat panggilan itu. "Iya Nad?"

"Mahen...bantuin gue..."

Suara Nadha terdengar lirih, membuat Mahen terperanjat. Ia lalu bertanya dengan nada panik.

"Lo kenapa?" ujar Mahen dengan cemas.

Namun panggilan terputus, membuat Mahen segera meraih gitar miliknya dan memasukkannya ke dalam tas.

Nata berdiri dan meraih pundak Mahen. "Mau sampe kapan lo ninggalin kita? mau sampe kapan lo ngalah? mau sampe kapan lo gini? liat diri lo sendiri."

Mahen tersenyum. "Nat, ini semua amanah dari ayahnya."

Nata lalu menatap tajam ke arah Mahen. "Ini bukan amanah, lo ga normal."

Mahen lalu menghela nafas dan melenggang pergi. menyusul Nadha ke rumahnya.

Saat Mahen dalam perjalanan, ia merasa seorang pria mengikutinya. Dan sialnya pria itu mengejarnya, Mahen berusaha menyalip kendaraan di depannya. Namun layaknya seorang pembalap handal, pria itu mampu menyamakan kecepatannya dengan Mahen. Mahen berusaha terus mempacu motornya, hingga pria itu berteriak.

"WOI! GUE MARCELL! BERHENTI!"

Mahen seketika menghentikan laju motornya san berhenti di sebuah trotoar.

Mahen turun dan melepas helm. "Kenapa kak?"

Marcell turun dan mendatangi Mahen sembari melinting lengan panjangnya. "Gue ada urusan sebentar sama lo."

Akhirnya mereka berdua duduk di sebuah bangku taman. Marcell bercerita bahwa ia baru saja mendapatkan telepon dari Nadha, ia mengira bahwa itu adalah panggilan darurat. Namun nyatanya itu adalah panggilan yang bukan darinya. Mahen lalu tercengang, mana mungkin telepon itu di dapat dari seseorang bukan Nadha.

"Gue yakin, akhir-akhir ini selalu ada seenggaknya laki-laki berjaket hitam yang selalu ngikutin mobil ayah gue."

Mahen mengangguk. "Kemarin gue juga di serang di rumah."

Marcell menatap Mahen, ia menelisik kondisi Mahen. Kurus, namun tetap nampak berisi dan sehat. Marcell menatap tangan Mahen yang di perban.

"Gue tahu, ini pasti rencana dari salah satu orang yang mau celakain Nadha."

Mahen menoleh. "Celakain Nadha? Candra?"

Marcell mengangguk. "Gue mikir hal yang sama."

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚

"LO JAHAT!"

Guyuran bir membasahi tubuh Candra. Nadha berhasil melabrak Candra yang tengah berada di sebuah klub disko. Candra berada bersama teman-teman pergaulannya dan seorang wanita yang langsung menolong Candra dengan menyeka wajahnya dengan sapu tangan.

"LO MAIN DI BELAKANG GUE!"

Candra lalu menepis tangan wanita yang tengah membersihkan wajahnya, tentu Nadha yakin itu adalah selingkuhannya. Candra mendekati Nadha dan menampar wajahnya.

"MEMANG DARI AWAL GUE GA SUKA SAMA LO NAD! KARENA APA!? SELAMA INI GUE DEKETIN LO CUMAN BIAR GUE BISA NGEREBUT PERUSAHAAN AYAH LO!"

Semua yang tadinya berisik dan ramai karena peristiwa sebelumnya, kini menjadi sepi dan hening. Mata Nadha berkaca-kaca ia menyentuh pipinya yang merah akibat bekas tamparan.

"SEKARANG LO PERGI! JANGAN GANGGU GUE!"

Nadha balik menampar wajah Candra hingga Candra terjatuh. "KITA PUTUS!"

Candra terbelalak, ia tak mengira bahwa Nadha nekat melakukan hal itu. Hingga ia meraih sebuah balok kayu yang tersandar di dinding dan melayangkannya ke arah Nadha. Nadha memejamkan mata karena takut, namun ia tak merasakan sakit setelahnya. Ternyata, Marcell datang dengan menahan tangan Candra dan menangkis serangannya.

"Udah hebat lo? nyakitin adek gue?"

Candra menelan ludah, ia melempar balok kayunya kembali ke tempat asal. Ia tak pernah berani mencari gara-gara dengan Marcell.

"Gue tanya, UDAH HEBAT LO NYAKITIN ADEK GUE!?"

Marcell mengarahkan tendangan maut ke perut Candra. Candra terbatuk, ia memuntahkan isi perutnya karena kerasnya tendangan Marcell. Mahen berlari ke arah Nadha dan memeluk tubuhnya yang berhetar hebat karena ketakutan.

"Nadha gapapa kan? lo gapapa kan? ada yang luka?" cecar Mahen dengan cemas sembari menengadahkan kepala Nadha.

Nadha menangis terisak. "Dia nampar gue."

Seketika Marcell dan Mahen menatap tajam ke arah Candra. Kobaran api terus membakar hati mereka, Marcell kembali menghajar habis Candra hingga ia puas.

"Lo emang binatang! sekali lagi lo sakitin adek gue, walaupun hanya sehelai rambutnya. Gue pastikan lo mati di tangan gue!"

Marcell berjalan ke arah Nadha dan membawanya pulang. Sementara Mahen melirik Candra yang babak belur, namun menyunggingkan sebuah senyuman misterius.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now