ᡣ𐭩Bab 23. Ciamis ᡣ𐭩

17 6 1
                                    

"Handuk udah siap?"

"Udahh..."

"Baju ganti?"

"Sudaah..."

Mahen menutup tas punggung miliknya, yang berisi barang-barang yang akan ia bawa saat turnamen. Mahen mengepalkan tangan dan menghela nafas untuk menenangkan dirinya. Jujur, ia merasa cemas akan turnamen ini. Namun Nadha datang dan menepuk pundaknya dari belakang.

"Gue yakin lo bisa!" dukung Nadha sembari tersenyum cerah.

Mahen tersenyum dan mengusap-usap kepala Nadha.

"Terima kasih Nad," balas Mahen.

Amanda datang ke kamar Mahen dan mengetuk pintu dengan lembut.

"Mahen, Nadha...udah siap?"

Nadha dan Mahen pun kompak menjawab. "Udah bundaaa!"

Amanda lalu mengingatkan mereka berdua untuk segera bersiap karena Haris telah menyiapkan mobil untuk segera berangkat. Nadha dan keluarganya sepakat untuk menemani Mahen turnamen ke luar kota, tepatnya di Bandung, Ciamis. Amanda dan Haris tentu dengan senang hati dan antusias menemani Mahen yang mereka telah anggap seperti anak mereka sendiri. Perjalanan dari Jakarta—Bandung memakan waktu sekitar 3 jam, hingga mereka sampai di sebuah gedung besar dan megah dengan cat coklat dan putih bersih.

Mahen terpukau, ia membatin. "Jadi ini gedung punya Polisi? keren.."

Nadha yang awalnya ikut terpukau kini menyikut lengan Mahen. Ia memberi isyarat bahwa di sebelah sebuah kolam air mancur Mas Imam tengah memandang jam tangan di pergelangan tangannya sembari tampak cemas dan gusar. Mahen tersenyum lalu memanggil Mas Imam. Mas Imam menoleh, ia lalu berjalan ke Mahen dan memandang Amanda dan Haris dengan bingung.

Mahen yang paham lalu menjelaskan pada Mas Imam. "Mas Imam, sebelumnya ini ayah dan bunda Nadha, mereka nanti yang bantu support Mahen di turnamen ini."

Mas Imam tersenyum mengangguk dan menjabat tangan Amanda dan Haris. Mereka pun masuk ke dalam gedung olahraga itu, Mahen memandang banyak atlet pencak silat yang telah bersiap. Mahen juga kini memasang kostum pencak silatnya. Ia berulang kali meniup jempolnya yang dingin karena cemas. Nadha yang melihat hal itu pun menyodorkan sebotol air mineral sembari mengepalkan tangan.

"Mahen bisa! keep fighting!!" ujar Nadha sembari menyodorkan sebotol air mineral.

Mahen dengan sedikit bergetar meneguk air mineral itu. Hingga ia merasa tenang, kini ia memeluk Nadha dan meletakkan kepalanya di perut Nadha.

"Gue takut Nad, gue takut..."

Nadha mengusap-usap kepala Mahen dan mengacak-acak rambutnya.

Mahen kembali bergumam. "Gue takut, gimana kalau gue kalah?"

Nadha yang mendengar kalimat itu lalu menepuk kedua pipi Mahen dengan keras hingga terdengar suara renyah. Beberapa orang sempat menoleh karena kaget. Mahen mengaduh dan terkejut, Nadha mengangkat dagu Mahen dan menunjukkan ekspresi kesal dan serius.

"Gue kesel!" sentak Nadha.

Mahen terkejut, baru kali ini ia melihat Nadha serius.

Nadha pun melanjutkan kalimatnya. "Gue yang nemenin lo dari awal lo latihan! gue ikut bantu lo ngurus dokumen-dokumen buat lomba! dan lo pesimis dengan bilang lo takut kalah!? lo ga yakin sama diri lo sendiri!?"

Mahen menitikkan air mata, ia lalu tersenyum. "Gue minta maaf...gue yakin gue bisa."

Nadha pun mengangguk bangga dan tiba-tiba juri telah memanggil Mahen untuk masuk dalam pertandingan. Mahen melawan atlet dari Surabaya, ia dengan mantap berjalan dan memandang lawannya dengan tatapan tajam.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now