ᡣ𐭩Bab 18. Bukan Dia ᡣ𐭩

23 12 0
                                    

1 pesan masuk membuat Mahen sesegera mungkin membalut bekas lukanya dengan perban

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

1 pesan masuk membuat Mahen sesegera mungkin membalut bekas lukanya dengan perban. Ia bahkan tak membersihkannya terlebih dahulu. Kejadian malam kemarin membuatnya tertidur lebih lama. Ia segera merogoh tas dan menyambar helm serta kunci motor yang tergantung rapi di tempatnya. Ia menancap gas dengan kecepatan tinggi karena jam yang membalut pergelangan tangannya telah menunjukkan jam 7 kurang.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚

"Ini jam berapa coba!?"

Sang surya telah hadir beberapa saat yang lalu. Memancarkan cahaya terik nan panas yang membuat seorang gadis dengan tas merah kesukaannya tampak pundung sembari berjongkok di sebelah ambang pintu. Mahen berjalan membawa helm sang gadis itu lalu berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan gadis itu.

"Maaf Nad, gue ketiduran."

Mahen meminta maaf dengan wajahnya yang lesu. Nadha memalingkan wajah.

Mahen menghela nafas. "Kamu mau apa? aku traktir nanti di kantin sekolah."

Nadha mengangkat wajahnya, matanya berbinar dan senyumnya merekah cerah.

"Beneran??"

Mahen mengangguk sembari memasangkan helm di kepala Nadha. Akhirnya mereka berangkat ke sekolah, Mahen mengusahakan agar mereka tepat waktu. Namun perasaannya masih terasa gundah, kejadian semalam membuat ketakutannya merajalela. Rasa sakit bekas tikaman di telapak tangannya masih tak sebanding dengan rasa takutnya.

Mereka tiba di sekolah dengan tepat waktu, walau Pak Arif sang satpam sekolah mengembangkan senyuman kecut menyambut mereka. Mahen dan Nadha hanya terkena teguran ringan oleh guru bimbingan dan konseling sekolah mereka.

"Fyuh, untung cuman kena sembur," ujar Nadha sembari berjalan dengan gontai ke kelas.

Mahen hanya tersenyum, saat mereka masuk kelas tiba-tiba mereka di hadang oleh laki-laki berambut sedikit gondrong.

Candra menghadang mereka. "Cuman Nadha yang boleh masuk, supir yang telat ga boleh."

Mahen lalu mengernyitkan dahi. "Siapa lo? yang punya tanah?"

Candra lalu menaikkan sudut bibirnya. "Memang, terus kenapa?"

Nadha yang tak sabar lalu mengaitkan jarinya ke tangan Candra dan menariknya. Candra lalu menyunggingkan senyuman kemenangan. Semantara Mahen hanya bisa diam.

Sepanjang pelajaran, Mahen terus memikirkan dalang di balik penyerangannya kemarin. Sesekali ia memandang Candra dengan kecurigaan.

"Apa mungkin dia?"

"Ini kenapa?" pinta Nadha saat penasaran dengan telapak tangan Mahen yang dibalut.

Ketika Nadha menyentuhnya, Mahen menangkis dan mengelak.

"Ah! Apasih..." gerutu Nadha.

Mahen lalu tertawa kecil, pada akhirnya ia lah yang meminta maaf dan kembali mendekat kepada Nadha.

"Gue besok ada di daerah tanah kusir."

Nadha mengernyitkan dahi. "Ngapain?"

Mahen tersenyum. "Buat ngamen, ehehehe."

Nadha merengut, pada akhirnya ia berusaha menyimak pelajaran di depan. Mahen yang masih merasa gundah pun berbicara pada Nadha dengan berbisik.

"Nad, lo tau ga sih? kemarin gue diserang sama laki-laki."

Nadha menoleh dan bertanya. "Diserang siapa jir?"

Mahen menggelengkan kepala. Tepat saat pergantian jam mata pelajaran, ia mengumpulkan niat untuk mengungkapkan sesuatu.

"Gue gatau, tapi gue yakin orang kemarin itu suruhan Candra—"

Seketika, Nadha tercengang. "HAH!? LO GILA!?"

Nadha memukul dada Mahen yang bidang, membuat Mahen meringis kesakitan. Bekas pertarungannya kemarin meninggalkan lebam di sekujur tubuhnya.

Nadha lalu menarik kerah Mahen. "LO BOLEH BUAT GA SUKA CANDRA! TAPI GA MUNGKIN DIA!"

Mahen hanya pasrah mendapat perlakuan seperti ini. Awalnya ia sudah yakin untuk memberi tahu Nadha bahwa kemarin ia mendapat serangan dari orang tak dikenal yang membobol rumahnya dan ia percaya bahwa itu adalah orang suruhan Candra. Namun, ia salah telak dalam mengungkapkan. Justru ia malah mengeluarkan kalimat yang malah terlihat menuduh Candra. Wajar bahwa Nadha sebagai kekasih Candra merasa marah.

"Gue bisa jelasin, dengerin gue dulu, please."

Namun Nadha malah mendorong Mahen. "Denger ya! seburuk-buruknya dia! ga bakal mungkin dia celakain lo! lo tu cuman benci dia kan!?"

Beberapa siswa dan siswi di kelas sempat melihat pertengkaran itu nampak kaget, karena yang mereka tahu Mahen dan Nadha tak pernah sedikit pun bertengkar di muka umum. Namun Candra datang melerai mereka, Mahen semakin merasa dugaanya benar. Ia lalu perlahan melepas genggaman tangannya dan melepas Nadha pergi bersama Candra.

"Gue tau! lo masih bela dia karena lo itu buta Nad!"

Mahen berteriak, sehingga membuat beberapa murid tampak menaruh perhatian kepada Mahen. Nadha hanya dia seribu bahasa, Candra mendengus kesal.

Saat Candra hendak berbicara, Nadha memcegahnya. "Gue, udah ga butuh lo lagi. Gue udah pernah bilang bukan? lo itu cuman sebatas supir gue dan temen masa kecil gue."

Bak petir menyambar di siang bolong, Mahen merasakan sakit hati luar biasa. "Nad...kenapa lo jadi gini?"

Nadha berbalik badan lalu berjalan ke arah Mahen.
"Jadi, sekarang lo nyalahin gue!?"

Mahen terbelalak ia lalu mengenggam tangan Nadha erat. "Bukan gitu, gue—"

Belum selesai Mahen menyesaikan kalimatnya, Nadha melayangkan tamparan ke arah pipi Mahen. Namun secara reflek Mahen menangkis tangan Nadha sehingga membuatnya terjengkang. Mahen yang tak sadar akan melakukan hal itu pun berjongkok lalu meminta maaf.

"Nad, maafin gue...maafin gue nad..."  tutur Mahen dengan suara bergetar.

"Dari awal, emang lo ga suka Candra kan?" ucap Nadha sembari berdiri.

Mahen terdiam, sampai akhirnya Candra menarik tangan Nadha pergi. Mahen hanya ingin mendapat perhatian, satu-satunya dari sang sahabat.

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now