ᡣ𐭩 Bab 16. Rencana ᡣ𐭩

30 13 0
                                    

"Kenapa kok bisa jadi gitu sayang?"

Haris mendapat telepon dari Amanda yang mengkabari bahwa putrinya kemarin pulang dengan kondisi berantakan, pipi bengkak merah, air mata yang telah kering dan masih terisak. Haris memijat-mijat pangkal hidungnya sambil berdesah lelah. Haris memang jarang pulang ke rumah karena dunia kerjanya yang sangat padat, namun ia tetap melakukan apapun agar sang belahan jiwa dan buah hati nya tetap merasa nyaman.

"Saya akan segera pulang."

Haris mengakhiri panggilan itu dan pulang ke rumah. Namun ia mengurungkan niat, ia pergi ke rumah Mahen. Saat turun, ia mendengar lantunan ayat Qur'an yang merdu. Perlahan guratan bibir terukir, ia mengetuk pintu lembut. Mahen keluar dengan sarung yang masih ia kenakan dan seketika tersenyum.

"Eh om...ayo masuk."

Haris mengangguk, namun sebelum ia masuk. Ia merogoh dompetnya dan mengeluarkan amplop coklat tebal dan menyerahkannya kepada Mahen.

"Mahen, sebelumnya om berterima kasih. Selama ini kamu telah menjaga anak om," pintanya dengan senyum hangat.

Mahen mengangguk, "Siap om. Terima kasih juga."

Mahen mempersilahkan Haris untuk duduk diatas kursi panjang. Mahen menyuguhkan secangkir kopi hangat, Haris hendak mengutarakan niatnya datang kesini. Namun sebelum ia mengatakannya ia berbasa-basi.

"Gimana sekolahnya Mahen? lancar?" tuturnya lembut.

"Lancar om," Mahen tersenyum sembari mengaitkan jari-jemarinya.

Perlahan Haris meraih pundak Mahen dan menepuk-nepuknya. "Om mau tanya sesuatu."

Mahen memgangguk, ia paham maksud awal kedatangan Haris ke rumahnya.

Haris lalu sedikit meregangkan otot lalu sedikit membungkuk untuk menyeruput kopi.

"Kemarin, Nadha pulang dengan kondisi yang...Om juga gatau apa yang terjadi. Kamu ada masalah sama dia?"

Mahen tertunduk lesu, ia masih nyaman bermain dengan jari-jemarinya. Lalu ia berbicara dengan sedikit bergetar.

"G-gaada om."

Haris menatap lekat pada Mahen. Lalu ia mengangguk. "Om tahu betul, kalian sudah berteman lebih dari 10 tahun. Cerita saja tidak apa-apa."

Mahen akhirnya pasrah, dan luluh setelah Haris merayunya. Langit mulai gelap, dan adzan Maghrib telah lama berkumandang. Namun kedua laki-laki itu masih betah untuk duduk. Saat akhirnya Haris mengajak Mahen untuk beribadah terlebih dahulu.

Beberapa menit berlalu, setelah mereka beribadah Haris akhirnya mengerti kondisi mereka berdua yang mulai merenggang.

"Om paham, tapi tolong jangan lupakan tugasmu yang Mahen. Om paham jika memiliki sahabat seperti itu, om hanya berharap agar permasalahan ini segera kamu selesaikan, sanggup?"

Mahen mendesah lega. "Paham om."

Haris tersenyum lalu akhirnya mereka telah selesai berbicara. Sebelum Haris pulang, ia secara tiba-tiba memeluk tubuh Mahen. Mahen terperanjat, namun ia menerima itu semua.

"Om menaruh harapan besar kepadamu Mahen. Selama ini, om sudah menganggapmu seperti putra om sendiri. Tolong jaga Nadha seperti kamu menjaga separuh jiwamu, om—"

Haris menangis terisak, ia tak kuasa menahan air matanya. Segala cara ia lakukan untuk melindungi putrinya. Mahen mengangguk, ia lalu melepas pelukan itu dan menyeka air matanya.

"Terima kasih om," ujar Mahen sembari mencium tangan Haris.

Semua rindu kepada sang ayahnya yang telah lama pergi untuk mencari nafkah, telah tumpah kepada Haris. Siapa manusia yang tahan akan kerinduan yang menggerogoti jiwa nya selama ini, selain Mahendra Syafiq dan orang-orang sekuat dirinya.

✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘ ⋆。♡˚ ✧˚ ༘

"Hati-hati ya kalian, Mahen jangan ngebut. Nadha ada barang ketinggalan ngga?"

Amanda memaikan tas Nadha ke punggungnya. Nadha awalnya menolak untuk berangkat bersama Mahen. Namun Amanda membujuk Nadha dengan memasak makanan kesukaannya, hingga Nadha pun terayu dengan bujukan ibundanya.

Pagi ini mereka berangkat dengan hawa dingin. Tak ada yang memulai obrolan, kecuali Nadha yang berusaha mencari topik.

"Mahen, tau ngga? Ikan apa yang bisa terbang?" 

Mahen menggeleng, Nadha menyembul wajahnya dari pundak Mahen dan terkekeh.

"Lele!"

Mahen mengangkat satu alisnya, tanda bahwa ia tak paham.

"Lelelawarr!!"

Nadha tertawa sembari mengeratkan pegangannya di pinggang Mahen. Walau Mahen tak bersuara, ia mengembangkan senyuman, dan perlahan tertawa kecil. Belum selesai mereka bersenda gurau, sebuah mobil sport bewarna merah gelap menyalip mereka. Nadha tahu bahwa itu adalah Candra, mereka berheti di sebuah trotoar. Saat Candra turun, Nadha terkejut bahwa Candra tengah merokok.

"Kok kamu merokok?"

Nadha mendekati Candra lalu berusaha meraih tangannya. Candra menepis tangan Nadha lalu menariknya.

"Lelet banget sih, gue udah nunggu dari tadi."

Mahen tak berkutik, ia hanya menatap sendu terhadap Nadha. Ia lalu menghembuskan nafas kesal
dan mengendarai motornya menyusul mereka. Namun tiba-tiba hujan sang pujaan angin turun. Memaksa Mahen untuk menepi, merelakan mobil Candra yang perlahan hilang dari kejauhan.

"Tsk, bisa-bisanya gue lupa bawa jas hujan," sesal Mahen sembari menutup kembali jok motornya.

Mau tak mau karena ia hampir telat datang ke sekolah, Mahen membelah hujan dengan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia berusaha menyeka air yang terus membasahi wajahnya itu. Namun sayang, ia tiba-tiba dihadang segerombolan pria berandalan, ia menghentikan motornya secara mendadak.

"Kalian mau apa?" tanya Mahen sembari membuka kaca helmnya.

Segerombol pria itu tertawa. Salah satu dari mereka mendekati Mahen.

"Oh, ternyata ini rupa saingan bos?"

Mahen menyeka air hujan di wajahnya. "Kalian mau apa?"

Mahen mengulangi pertanyaannya, namun sebelum ia kembali bertanya. Tiba-tiba sebuah balok kayu menghantam kepalanya, beruntung ia mengenakan helm. Ia ambruk ke tanah, pria yang tadi tertawa lalu membuka paksa helm Mahen.

"Buka ga!"

Mahen mengelak lalu memberikan tendangan maut kearah organ intim pria itu. Pria itu meraung kesakitan.

"SIAL! KEJAR DIA!"

Mahen kembali ke motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi melewati segerombol pria-pria itu.

"Sial, dia lolos."

Jemput!OY!!Where stories live. Discover now