Mulanya, Biba mengira tahun itu akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Salju masih belum meleleh dan matahari masih belum muncul dari timur. Namun, sang ibu menyuruh Biba untuk bergegas dengan suara tinggi. Anak itu belum pernah dimarahi ibunya sebelumnya dan dia tidak ingin. Oleh karena itu, Biba mengemasi pakaiannya dengan cepat, menggendong Lumpa –anak kambing kesayangannya menuju kereta dan mengikatnya bersama setumpuk jerami yang sengaja diletakkan di sana agar mereka tak membeku selama perjalanan.
Paman Oliver yang tinggal di dekat sungai dan punya dua ekor sapi menggedor pintu rumah mereka sebelum tengah malam tadi. Dia bilang pada ayahnya, "Si Merah datang!"
Biba tidak mengerti. Bukankah sudah ada tembok yang melindungi mereka darinya? Untuk apa Paman Oliver yang perutnya besar itu berlarian mengelilingi desa sampai berpeluh-peluh demi memberitahu hal itu pada semua orang? Ayah Biba juga menanyakan hal yang sama. Akan tetapi, Paman Oliver tidak memberi mereka jawaban yang pasti. Dia hanya meminta mereka untuk segera pergi sambil menghentakkan kaki.
"Pergi dan selamatkan hidupmu! Kau harus mendengarkanku atau kau akan mati!"
Mungkin Biba harus bersyukur karena ayahnya memiliki sebuah rumah pondok di desa seberang sehingga mereka punya tempat untuk pergi. Walaupun bisa saja apa yang Paman Oliver takutkan itu tidak pernah terjadi, berjaga-jaga untuk situasi terburuk tidak akan membuat mereka rugi.
Setelah ayahnya memecut kuda, kereta mereka bergerak maju. Biba masih betah menoleh ke belakang, menatap pada tembok batu tinggi yang dipenuhi oleh obor-obor. Tembok itu adalah hadiah dari sang raja untuk melindungi desa dan seluruh negeri mereka dari Si Merah yang kerap kali membawa bencana dan kematian.
"Jangan melihatnya, Biba," kata ibunya sambil mengeratkan ikatan syal usang Biba yang sedikit kendur. Meskipun begitu, Biba tidak mengindahkan perintahnya. Anak itu terus memandangi tembok dan pintu gerbangnya yang terbuka.
"Ibu, mengapa pintunya terbuka? Adakah orang yang akan datang dari sana?"
Mata ibu Biba membelalak lebar. "Pintunya terbuka! Pintunya terbuka!"
Tepat setelah ibunya berteriak seperti itu, Biba tanpa sadar langsung mengencangkan pegangannya pada sisian kereta karena tiba-tiba mereka bergerak sangat cepat. Dia dapat mendengar suara langkah kaki kuda dan roda keretanya yang menggelinding di atas tanah keras dan berbatu. Ibunya memerintahkan Biba untuk menunduk, meringkuk sekecil mungkin di antara tumpukan jerami dan barang bawaan mereka yang tidak banyak. Biba memeluk Lumpa dalam dekapannya, sementara dirinya dipeluk oleh sang ibu.
Biba tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang kedua orang tuanya katakan. Namun, sepertinya ayahnya bilang bahwa mereka harus pergi ke ibukota, Navity.
Bukankah itu sangat jauh? Biba memang menghabiskan seluruh hidupnya dengan berternak kambing, tapi dia tahu betul bahwa desanya ini berada di ujung utara kerajaan yang begitu jauhnya dari ibukota.
Diam-diam, Biba mengintip dari pundaknya. Sebuah gelombang serupa ombak pasir berwarna merah menerobos masuk melalui pintu yang terbuka. Naik begitu tinggi melewati atas dinding dan menelan desa mereka. Dari tempatnya, Biba dapat melihat bagaimana rumah-rumah, kandang-kandang, hingga ladang yang kering karena musim dingin itu dibanjiri oleh Si Merah, lalu habis menghilang.
"Desanya..." lirih Biba.
Sang Ibu langsung menutup mata Biba. "Sudah ibu bilang, jangan dilihat, Biba."
Biba menuruti perintah sang ibu dan kembali menyembunyikan wajahnya di antara bulu-bulu putih Lumpa.
Rupanya Biba mengerti mengapa ayahnya bilang mereka harus ke Navity. Itu karena di sana terdapat tembok yang lebih tinggi dan besar daripada yang ada di Desa Rye. Tembok itu pasti bisa melindungi mereka dari serangan Si Merah yang saat ini sedang mengejar bak tsunami menyusuri daratan. Semua hal yang dilewati Si Merah akan mati dan hangus. Benar-benar hanya tersisa bagian buruknya saja.
Biba tidak begitu yakin apa yang sedang dia rasakan saat ia meringkuk di atas keretanya. Dia takut, tapi pelukan ibunya membuat Biba merasa lebih baik. "Jangan takut, Biba. Kita akan baik-baik saja."
Dan Biba mempercayai kata-kata itu dengan sepenuh hatinya. Tidak peduli seberapa lama pun, tidak peduli betapa kaki dan punggungnya terasa kaku karena terus meringkuk, Biba terus bertahan dengan keyakinan itu; bahwa mereka akan baik-baik saja.
Cahaya mulai tertangkap oleh mata Biba melalui lubang kecil pada sisian kereta. Pagi menyingsing dan matahari sudah terbit. Biba bisa merasakan kalau kereta mereka sedang menuruni bukit dan akan segera menemui jalan yang lebih baik menuju kota-kota di bawah lembah.
Biba dapat mendengar sorakan lega ayahnya yang mengatakan bahwa mereka telah melihat tembok kota terdekat. Akan tetapi, sepertinya roda kereta tua itu sudah tidak sanggup lagi menahan semua beban dan goncangan. Hanya beberapa saat setelah Biba mengangkat kepalanya untuk melihat sinar matahari, kereta mereka terpental.
Tubuh Biba jatuh berguling-guling di atas tanah bersalju yang dingin dan berhenti setelah punggungnya menabrak sebatang pohon.
"Ibu..." Biba berusaha berdiri untuk membantu ibunya yang tergeletak tak jauh darinya.
"Biba!"
Ayah Biba memanggil.
"Biba, lari! Lari! Masuk ke dalam kota!"
Tembok Kota Karasas hanya berjarak lima puluh lo* dari tempatnya berada. Akan tetapi, Biba tidak bisa meninggalkan orang tuanya begitu saja. Ibunya sedang tidak sadarkan diri, sementara ayahnya terjepit oleh badan kereta. Kalau Biba pergi, maka mereka akan mati.
"Tidak mau. Bagaimana dengan ayah dan ibu?"
"Biba, ayah mohon, larilah, Nak!"
Si Merah mulai terlihat keluar dari dalam hutan. Dengan adanya sinar matahari, Biba dapat menangkap wujud Si Merah dengan lebih baik. Benda itu berwarna merah tua pekat bak salju yang ditumpahi oleh darah dan mengalir cepat seperti halnya air yang tumpah dari dalam gelas.
Kaki Biba gemetar. Dia takut, jelas. Namun, Biba memberanikan dirinya untuk membantu ayahnya keluar dari jepitan badan kereta.
Tangis Biba makin keras ketika Si Merah mulai menelan Lumpa. "Ayolah, ayolah!"
"Pergi, Biba!" Ayahnya mendorong Biba menjauh. "Setidaknya kamu harus selamat!"
Sorot mata ayahnya yang berwarna biru itu tidak mampu meyakinkan hati Biba. "Kalau hanya aku, aku tidak mau! Aku tidak mau sendirian, Ayah!"
"Biba..."
Biba menoleh dengan tatapan nanar pada ibunya. Mata Biba yang kemasukan darah tidak bisa lebih merah daripada apa yang sedang membungkus badan lemah ibunya saat ini. Tenaga Biba langsung hilang dan dia menyerah.
Tangan ayahnya terulur pada wajah Biba. Sambil tersenyum, dia berkata, "Semoga Dewi Galathea selalu melindungimu, putraku. Ayah mohon, tetaplah hidup."
Dalam buram, Biba tidak dapat menilai dari manakah semua merah yang memenuhi pandangannya. Bahkan jika langit di atas kepalanya sekarang lebih biru daripada matanya, yang Biba lihat hanyalah warna merah.
[]
*1 lo = 4 meter
Aloha! Setelah membaca berbagai pendapat di wall dan beberapa pertimbangan, saya memutuskan untuk menggunakan nama ganti. Tenang saja. Selain namanya tidak jauh berbeda dari nama asli mereka, nanti saya juga akan kasih gambar dan siapa menjadi siapa setiap akhir chapter dengan karakter baru. Sekali lagi, saya mohon dukungannya!
n.b. satuan lo itu sebenarnya hanya dibuat-buat wkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanfictionSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...