Chapter 38 - Another Path

90 19 16
                                    

"Pada akhirnya dia tetap tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Tidak ada satu pun yang bisa. Dengan Si Merah menguasai seluruh wilayah pegunungan, tidak ada manusia yang dapat tinggal di sini. Kecuali kami, orang-orang yang tersisa dari Rougesierre."

Yuvgen mengakhiri ceritanya dengan tepuk tangan canggung. Memang, itu bukanlah cerita yang layak untuk diberi tepuk tangan.

Biba sekali lagi mengamati ukiran-ukiran pada dinding tersebut, menyusurinya satu per satu dari yang paling ujung. Semuanya—posisi gambar hingga peletakannya—sama dengan tembok-tembok ukir yang berada di istana. Bedanya hanyalah isi yang diceritakan pada mereka.

Biba jadi bertanya-tanya. Mungkinkah hilangnya ukiran pada sebagian tembok memang disengaja untuk mengaburkan cerita yang sebenarnya?

"Bagaimana cara kalian bertahan dari Si Merah?" tanya Biba.

"Hmm... Itu adalah perjalanan yang sangat panjang," jawab Yuvgen. "Mungkin karena kami telah tinggal di sini untuk waktu yang sangat lama, entah bagaimana kami memiliki ketahanan terhadap Si Merah. Yah, walaupun jauh dari kata sempurna. Menyentuh Si Merah masih terasa menyakitkan dan bila kami berkontak terlalu lama dengannya, kami juga bisa mati."

Makhluk hidup selalu berevolusi untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Para rougee melalui sangat banyak hal setelah kerajaan mereka hancur. Mereka sengaja tinggal di gunung batu yang tinggi untuk menghindari Si Merah dan selama ribuan tahun membangun imunitas untuk bertahan hidup dari sentuhannya.

Kehancuran sebuah kerajaan dan munculnya Si Merah. Semua kesengsaraan itu bermula dari keserakahan si kakak tertua; raja pertama Tearvale, Damian.

"Aku tidak pernah tahu kalau raja pertama adalah orang seperti itu," kata Biba.

Yuvgen membalas, "Di negaramu, tidak ada yang tahu karena kalian memilih untuk melupakannya. Kami sejak kecil mendengar kisah kehancuran Rougesierre sebagai dongeng pengantar tidur untuk memberitahu jati diri kami. Untuk mengingatkan kami bahwa kami memiliki musuh yang kejam di luar sana."

"Aku selalu berpikir bahwa Si Merah adalah sesuatu yang jahat dan terkutuk."

"Si Merah memang terkutuk. Fakta bahwa benda itu telah menghilangkan banyak sekali nyawa tidak akan pernah berubah. Kau hanya sebatas mengetahui asal-usulnya saja."

Biba melangkah menuju salah satu batu dan duduk di sana sambil menundukkan kepala. Dia menatap kakinya yang tenggelam dalam air. Mungkin karena efek obat nenek Yuvgen masih tersisa, Biba tidak merasakan banyak emosi yang berarti dalam dirinya.

Kisah munculnya Si Merah yang penuh tragedi seharusnya cukup untuk mendidihkan amarah Biba, tetapi secara ajaib dia bisa terus mendengarkannya dengan tenang. Biba pikir tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah sesuatu yang telah terjadi di masa lalu. 

Bagaimana pun juga yang sudah mati tidak akan bisa hidup lagi.

"Sekarang setelah kau mengetahuinya, apa yang akan kau lakukan?" Yuvgen berjongkok untuk menatap wajah Biba, mengabaikan celananya yang basah karena terendam air.

"Apa yang akan aku lakukan?" Biba terkekeh pelan. "Memangnya apa yang bisa aku lakukan? Alasanku berakhir di sini adalah karena aku kalah. Tidak peduli berapa banyak orang yang mengatakan bahwa aku pantas, bahwa aku adalah 'tuan' dari tanah Tearvale, aku tetap tidak bisa memenangkannya."

"Jadi, kau tidak akan kembali ke tempat itu lagi?"

Biba ragu. Semua kata yang terlintas di benaknya hanya bertaut satu sama lain membentuk simpul yang tidak bisa dia uraikan.

Yuvgen bertanya lagi, kali ini dengan suara yang terdengar lebih riang, "Bagaimana kalau kau memulai hidup baru di sini? Bukan pilihan yang buruk menurutku. Kami memiliki banyak makanan, tempat tinggal yang hangat, pakaian yang nyaman, dan bahkan budaya. Mungkin beberapa orang tidak begitu ramah, tapi kami tidak bermuka dua."

THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang