Chapter 20 - Conclusion

145 32 11
                                    

Warna api unggun berbayang-bayang dalam mata biru Biba.

Setelah menenggak habis minuman di gelasnya, Biba mengeratkan selimut. Dia hanya menatap api unggun dalam diam, sesekali beralih pada kakinya yang terbalut oleh sepasang sepatu cokelat. Betul-betul menghindari teman-temannya yang kini sedang menuntut penjelasan darinya.

"Aku tidak akan memberitahu kalian apa pun," kata Biba pada akhirnya.

"Apa itu sesuatu yang rahasia?"

"Ya, jadi aku berharap kalian juga jangan mengatakannya pada siapa-siapa."

"Apa dulu kau kabur dari kamar lantai dua rumahku dengan cara seperti ini juga?" tanya Hansel yang hanya dibalas dengan anggukan dari Biba.

"Biba." Rui Xi menghampiri mereka bersama seorang nenek yang tadi menangis di depan Biba. "Dia ingin bicara padamu."

"Tentu."

"Mungkin ini akan terlihat seperti kami mencari-cari alasan, tapi bersediakah Anda mendengarkan cerita kami?"

Biba mengangguk mantap. Sebenarnya, dia juga berencana untuk menanyakan cerita aslinya pada mereka, tentang mengapa mereka menjadi bandit.

"Nama saya Pyria. Saya datang dari wilayah barat, tepatnya Kota Subbish yang berbatasan dengan daerah perbukitan Westafol. Tanah gersang yang dekat dengan padang pasir itu tidaklah ramah untuk ditinggali oleh manusia dan penjarahan terjadi setiap hari karena perang."

Kerajaan Tearvale saat ini tengah menghadapi perang selama dua puluh tahun dengan negeri seberang, Amaram. Gencatan senjata berulang kali dilakukan. Namun, itu hanya bertahan untuk sesaat sebelum pertempuran yang lebih kacau terjadi lagi.

Sepanjang pengetahuan Biba, perang dengan Amaram dipicu oleh perebutan wilayah. Kedua negara sama-sama ingin memiliki padang pasir dan apa pun yang mungkin ada di dalamnya.

"Semua orang yang datang ke sini, entah itu dari Wen atau barat memiliki tujuan yang sama, yaitu sebuah tempat yang lebih baik untuk bertahan hidup. Karena itulah, bagi kami Raja Diaken sama hebatnya dengan dewa. Tidak hanya membuatkan sebuah desa untuk kami, dia bahkan memilih tanah yang subur untuk itu."

"Lantas, mengapa kalian menjadi bandit yang mencuri dari orang lain?" tanya Biba.

"Meskipun sudah tua, saya mengingat kejadian malam itu begitu jelas seperti baru terjadi kemarin. Dua puluh tahun yang lalu, hanya seminggu setelah Raja Diaken wafat, desa kami diserang."

"Oleh siapa?"

Pyria menggeleng. "Saya tidak tahu. Dia terlihat masih muda dan berpendidikan. Waktu itu, dia mungkin tidak lebih tua dari usia Anda sekarang, Yang Mulia. Kami berpikir dia adalah seorang tuan muda bangsawan, jadi kami bertanya apa tujuannya datang ke desa kami. Namun, pria Wen yang ditunjuk jadi kepala desa terpenggal di depan mata kami oleh pedangnya."


※※※


Dalam ingatan Pyria, malam itu begitu mengerikan bagai mimpi buruk.

Segerombolan orang tidak dikenal menyerang desa dan membakar gudang-gudang persediaan. Pintu rumah-rumah diterobos. Setiap penduduk desa tidak peduli pria atau wanita, muda atau tua, diseret menuju tengah desa di mana patung Raja Diaken—pria hebat yang menyelamatkan mereka—didirikan.

Sosok yang ada di depan itu adalah seorang pemuda, tapi di mata warga desa dia adalah iblis. 

Iblis yang berdiri di antara kobaran api dari rumah mereka yang terbakar. Iblis yang tertawa di antara jerit tangis mereka yang terluka.

THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang