Biba menghabiskan seluruh hidupnya sebagai rakyat jelata, maka dari itu dia harus mempelajari semua hal dari awal selayaknya anak-anak bangsawan yang lain. Dimulai dari pendidikan etiket, pengetahuan dasar, sampai berkuda. Setidaknya, selama lima tahun terakhir Jeff mengajarinya berpedang—karena memang itu tujuannya ada di kediaman count—jadi Biba tidak benar-benar memulainya dari nol.
Tenggatnya adalah sampai dua bulan lagi saat Konferensi Besar diadakan.
Di pertemuan yang melibatkan semua bangsawan dan pemimpin wilayah dari seluruh penjuru Kerajaan Tearvale, Biba akan menunjukkan dirinya. Semua persiapan akan ditangani oleh Count Campbell dan bangsawan-bangsawan lain yang berada di pihak mereka termasuk Duke Austin. Biba hanya perlu memantaskan diri sebagai bangsawan dengan belajar di sini.
"Mungkin karena Anda telah bekerja di istal selama bertahun-tahun, kuda ini jadi mudah tunduk," kata Ethan sambil mengelus-elus badan kuda yang sedang dinaiki Biba.
"Apa naik kuda itu sebuah keharusan?"
Ethan mengangguk. "Bagi pria bangsawan, menaiki kuda adalah salah satu wujud harga diri. Kuda juga sering dipakai dalam perang. Tentu akan sulit mempelajarinya, tapi itu sepadan. Dengan kuda, kita bisa lari lebih cepat dan menyerang lebih keras. "
"Kau juga bisa? Bertempur dengan kuda?"
"Tidak sepandai putra mahkota," jawab Ethan. "Putra mahkota adalah yang terbaik di bidang ini."
Ah, kalau memang benar kuda merupakan harga diri pria bangsawan, Biba jadi paham mengapa putra mahkota begitu marah ketika kudanya melempar dia ke atas tanah. Sejak awal, Ascelo tidak peduli apakah itu rencana pembunuhan atau bukan, yang penting baginya hanyalah kenyataan bahwa dia telah dipermalukan.
"Saya rasa, berkudanya cukup sampai di sini saja untuk hari ini. Setelah makan siang Anda masih ada jadwal pelajaran, bukan? Juga..." Ethan melirik sebentar ke balik punggung—pada Theo yang menatap tajam di sisi lapangan. "Sepertinya dia akan membunuh saya dengan tatapannya."
Setelah kudanya dibawa pergi oleh pelayan dan Ethan menyingkir dari sana, Theo berlari kecil ke arah Biba.
"Kau masih di sini?" tanya Biba.
Dahi Theo berkerut tak suka. "Kau berharap aku pergi?"
"Tidak, bukan begitu. Maksudku aku sudah aman sekarang."
"Aman katamu?!" Theo berseru. "Tempat ini adalah yang paling berbahaya! Kau tidak bisa mempercayainya, Biba."
"Aku harus." Biba mempertemukan matanya dengan milik Theo. Tidak terlihat ada keraguan di sana. "Dalang di balik kematian orang tuaku adalah raja. Sekarang aku punya kesempatan dan aku harus meraihnya. Bahkan bila yang akan membawaku pada tujuanku adalah tongkat berduri, aku tidak peduli. Aku akan tetap menggenggamnya."
Theo memejamkan mata, lalu menghembuskan napas panjang. "Baiklah, aku akan mengikutimu."
"Tidak! Kau tidak boleh! Kau paham betul betapa berbahaya jalan yang ku ambil."
"Justru karena itu berbahaya, makanya aku mengikutimu! Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali, tapi kau tidak pernah mendengarkanku! Lihat sekarang apa yang terjadi! Kau tidak punya satu pun orang yang bisa kau percaya di sini. Kau itu bodoh dan naif, Biba. Kau cengeng, mudah tersinggung, dan gampang disuruh-suruh. Kau juga—"
"Sudah," potong Biba. "Jangan diteruskan atau aku akan sakit hati."
Theo mengatur napasnya yang memburu karena baru saja mengomeli Biba tanpa jeda. Dia meletakkan tangannya di pinggang sembari berkata, "Pertama-tama, biarkan aku membantumu dengan pelajaran. Kau kesulitan, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanficSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...