Sebuah kereta bagus dan tidak terlalu mencolok berhenti di depan bangunan bertuliskan 'Kahyangan'—salah satu rumah bordil di distrik hiburan Kota Luo. Sesosok pria keluar dari kereta itu. Matanya yang dalam memindai sekitar. Dia menghirup udara distrik hiburan yang selalu terasa manis baginya, lalu mengangguk-angguk puas.
"Yang Mulia, saya rasa tidak baik bila Anda terlihat di tempat seperti ini." Pria lain yang berbadan lebih pendek membungkuk di sampingnya dengan wajah cemas.
"Hoho! Adikku memintaku untuk datang bahkan menulis suratnya sendiri. Siapa aku berani menolak permintaannya."
"Tapi..."
"Selain itu, ayahku mengunjungi tempat semacam ini jauh lebih sering daripada aku. Apa yang begitu kau ributkan?"
Shun Xi berjalan menuruni tangga dengan cepat. Tangannya bertumpu di depan perutnya, lalu membungkuk pada pria itu. "Selamat datang, Pangeran Ruo Yan."
Ruo Yan menepuk-nepuk pundak Shun Xi. "Lama tidak berjumpa, Shun Xi."
"Sepertinya rasa cintamu pada istrimu jauh lebih besar daripada harga dirimu."
"Datang ke tempat ini sebenarnya tidak berarti apa-apa, apalagi adikku juga tinggal di dalamnya. Tapi datang ke sini untuk menikmati apa yang tempat ini tawarkan bisa jadi sedikit berbeda," kata Ruo Yan. "Aku datang karena aku merasa akan ada sesuatu yang menarik, bukan karena kalimat terakhir dalam suratmu."
"Tentu saja pasti itu alasannya!"
Shun Xi segera membimbing Ruo Yan masuk ke salah satu paviliun di Kahyangan. Paviliun itu berada di bagian terdalam dan hanya dibuka bila ada tamu khusus atau kedatangan orang penting seperti pejabat atau bahkan kaisar.
"Kau bilang ada seseorang yang ingin bertemu denganku. Siapa itu?" tanya Ruo Yan.
"Dia adalah tamuku. Tamu istimewa."
"Aku bertaruh kau berhutang sesuatu padanya hingga kau mau memintaku untuk datang ke sebuah pertemuan."
Shun Xi hanya tersenyum sambil mengangkat bahu sebelum dia membuka pintu untuk Ruo Yan.
Di tengah ruangan, Ruo Yan melihat seorang pemuda duduk dengan mengenakan pakaian bangsa Wen. Warna pakaiannya biru dan gambar seekor burung phoenix mengembangkan sayap tersulam apik di bagian dada. Meskipun mereka memakai pakaian yang serupa, Ruo Yan tahu—dari warna mata dan rambutnya yang sedikit bergelombang—bahwa pemuda ini berasal dari negeri tetangga di balik pegunungan.
Dan bukan hanya seorang pemuda biasa.
Begitu Ruo Yan duduk di seberang meja, Biba menunduk sekilas. "Nama saya Biba dari Tearvale."
Ruo Yan sempat tertegun karena pemuda Tearvale ini memperkenalkan diri dalam Bahasa Wen padanya. "Saya Wen Ruo Yan. Pangeran ketiga Kekaisaran Wen."
Biba berkata lagi masih dalam Bahasa Wen, "Saya datang untuk mengajukan sebuah penawaran."
"Langsung? Tidak ada basa-basi, ya." Ruo Yan tersenyum, lalu menyesap sedikit air dalam gelasnya.
Shun Xi membisikkan sesuatu pada Biba. Tampaknya dia sedang menerjemahkan apa yang baru saja Ruo Yan katakan.
Kali ini, Biba tidak lagi membalas dengan Bahasa Wen, "Saya baru beberapa bulan menjadi pangeran, bahkan belum diperkenalkan secara resmi. Jadi, saya tidak begitu mengerti bagaimana cara bangsawan berbasa-basi."
Shun Xi kemudian mengulangi lagi kata-kata Biba dalam bahasanya untuk Ruo Yan.
Ruo Yan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Memiliki Shun Xi sebagai penerjemah... Sepertinya kau benar-benar berhutang besar padanya, Shun Xi."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanfictionSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...