Sekitar empat puluh tahun lalu, Jonashel kedatangan tamu yang tidak biasa.
Laki-laki tak sabaran yang bahkan tidak bisa menunggu hingga hari berganti esok pagi itu tampaknya masih sangat muda. Jonashel berani menebak mungkin usianya masih belum genap dua puluh tahun.
Wajahnya yang tampan dan maskulin dibingkai oleh rambut hitam yang sedikit panjang. Dari kain pakaiannya yang halus dan licin, sepertinya dia berasal dari keluarga terpandang.
Waktu itu, Jonashel berpikir mungkin pemuda itu memiliki seseorang yang sedang sakit parah dan dalam kondisi darurat sehingga mengharuskannya untuk datang malam-malam ke Weisschapel. Jonashel adalah pendeta terbaik di sana, jadi masuk akal bila dia dicari untuk kepentingan pengobatan.
"Siapa namamu?"
Laki-laki itu mengajukan pertanyaan bahkan sebelum Jonashel menutup pintu ruangan.
"Nama saya Jonashel, Tuan Muda. Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Bukan aku, tapi kamu."
Alis Jonashel menyatu. "Apa maksud Anda?"
"Kristal merah yang tersimpan jauh di bawah istana raja. Aku bisa membantumu mengambilnya. Dengan begitu, Weisschapel tidak perlu takut pada Kerajaan Tearvale lagi." Pria itu menarik sudut bibirnya. "Bukankah tempat suci ini seharusnya hanya memihak pada dewa-dewi saja?"
Jonashel menegang. Udara dalam ruangan kecil itu mendadak terasa berat.
"Dari mana kau mengetahuinya? Siapa kau?"
"Oh, tolong maafkan ketidaksopananku. Namaku Jorka. Aku berasal dari keluarga yang memahat kisah raja pertama di tembok-tembok istana; Rivamore. Kau bisa mengatakan bahwa aku tahu semua detail kisahmu meskipun tugas memahat itu kini sudah berpindah tangan."
Mata Jonashel memicing. "Apa yang kau inginkan?"
Alih-alih memberikan Jonashel jawaban, Jorka justru bangkit dari duduknya, lalu bercerita sambil berjalan mengelilingi ruangan. "Ketika aku masih berusia tujuh tahun, aku memiliki seorang adik yang masih bayi. Matanya cantik, rambutnya halus, dan badannya gemuk seperti sebuah bola. Anjingku juga punya mainan bola yang bulat dan lembut sepertinya, jadi aku melempar Luca, adikku, ke luar jendela sambil berharap anjingku akan menangkapnya. Sayangnya, adikku jatuh begitu saja. Hancur seperti sebuah apel yang berantakan."
"Apa yang kau lakukan pada adikmu?!" Jonashel begitu marahnya hingga pakaiannya ia remat sampai kusut. "Kau gila?!"
Jorka menjentikkan jari. "Persis seperti itulah orang tuaku bereaksi. Mereka pikir aku gila. Mereka pikir aku kerasukan oleh sesuatu yang jahat dan kejam. Mereka percaya kalau itu bukan aku yang membunuh adikku, makanya mereka membawaku ke sini untuk mendapatkan pemurnian."
Ada puluhan hingga ratusan anak yang Jonashel murnikan dan berkati setiap tahun. Bila itu adalah saat Jorka berusia tujuh, Jonashel tidak mungkin mengingatnya.
"Saat aku melihatmu lagi beberapa waktu lalu, aku menyadari bahwa kau adalah pendeta yang melakukan pemurnian padaku dan kau benar-benar terlihat sama dengan saat kau memurnikanku dulu. Tidak ada yang berubah darimu. Kau tetap muda, tanpa kerutan, bahkan tidak ada tanda-tanda pendewasaan. Seolah waktumu berhenti di usia tertentu."
Jonashel tahu ke mana arah pembicaraan ini.
Jorka menggebrak meja di hadapan Jonashel, lalu mendekatkan wajahnya. Matanya melebar dan senyumnya tampak menakutkan. "Aku menginginkannya. Sesuatu, apa pun itu, yang membuatmu tetap awet muda."
"Umur panjang bukanlah sebuah berkah, Tuan Jorka. Itu adalah kutukan! Salah bila kau menginginkannya."
"Pendapatku berbeda." Jorka menggeleng. "Kalau aku punya umur panjang, aku akan memiliki lebih banyak waktu untuk bersenang-senang."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanficSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...