Bila kau berjalan sedikit lebih jauh ke utara dari wilayah pegunungan di dekat Desa Rye, kau akan menemukan sebuah jalan sempit. Salah langkah sedikit dan kau akan terjatuh ke dasar jurang yang bahkan tak terlihat dasarnya.
Setelah berhasil menempuh jalan yang sulit nan berbahaya itu, kau akan menemukan sebuah barisan gunung batu di antara hutan yang tampak hitam putih karena musim dingin. Sebuah dunia baru yang tak siapa pun orang di Kerajaan Tearvale berpikir itu ada di sana.
Barisan gunung itu terdiri dari tiga buah gunung batu memanjang yang terhubung satu sama lain seperti tiga buah garis yang berpotongan di atas kertas. Dari puncaknya, mengalir ratusan air terjun kecil. Kabut tipis mengelilingi gunung itu, naik dari cipratan air yang jatuh menyentuh permukaan.
Di balik setiap air terjun terdapat sebuah gua dengan ukuran yang berbeda-beda. Cahaya berwarna oranye muncul dari lubang-lubang gua dan membuat gunung itu tampak seperti sebuah gedung besar yang dibangun oleh tangan manusia. Masing-masing gua ditinggali oleh beberapa orang—antara lima dan yang paling banyak dua puluh—tergantung luasnya.
Pola berwarna merah menghiasi kulit wajah dan tubuh bagian atas orang-orang itu. Beberapa memiliki pola berbentuk lancip seperti ujung tajam sebuah taring, sedangkan beberapa lainnya hanya berupa garis acak atau bulatan-bulatan.
Wajah mereka terlihat seperti sedang dilukis dengan cat merah, tapi Biba tahu kalau pola-pola itu sudah ada sejak mereka lahir.
Wanita tua yang duduk di samping Biba terlihat resah dan kebingungan. Dia memilah-milah tanaman herbal dalam kotak, mengambil satu, lalu meletakkannya kembali. Begitu seterusnya.
Setiap kali pandangannya jatuh pada sosok Biba yang berbaring di atas kain berwarna tanah—yang anehnya terasa sangat halus di kulit, wanita tua itu menggeleng. "Dia terlihat sakit, tapi aku tidak tahu apa yang salah pada tubuhnya."
"Mungkin otaknya yang bermasalah," sahut gadis muda yang berdiri di mulut gua.
"March!" tegur wanita tua.
Gadis itu memandang Biba dengan mata memicing curiga. "Bisakah kita tidak sembarangan membawanya masuk ke dalam sini? Bagaimana kalau dia adalah mata-mata yang ditugasi untuk menemukan tempat persembunyian kita?"
"Mata-mata?" decak pria yang duduk tak jauh dari Biba. "Seperti orang-orang negara itu tahu keberadaan kita saja."
"Tidakkah kalian lihat warna matanya? Biru! Dia pasti salah satu dari mereka! Bahkan mungkin seorang keturunan kerajaan!" Gadis yang dipanggil March itu menunjuk-nunjuk Biba dengan wajah berkerut marah.
"Dan tidakkah kau lihat bagaimana penampilannya?! Tidak mungkin seseorang dengan pola merah menyala di kulitnya seperti dia diijinkan tinggal di negara yang membenci merah seolah-olah darah mereka tidak berwarna sama."
"Yuvgen, March, ada pasien di sini! Lakukan di tempat lain kalau ingin bertengkar."
Pria bernama Yuvgen itu menyandarkan punggungnya ke dinding, lalu mengibas-ibaskan tangannya. "Pergilah bermain atau apa. Ini urusan orang dewasa. Aku dan nenek."
"Kau—"
"March!"
Teguran wanita tua yang rupanya adalah nenek mereka membuat March menutup mulut dan—seperti perintah Yuvgen—akhirnya melengang pergi sambil menghentakkan kaki. Tak lupa gadis itu meludah ke arah Yuvgen yang tentu saja langsung dihindarinya secepat mungkin.
"Anak kurang ajar!" umpat Yuvgen.
"Tapi mungkin March ada benarnya." Wanita tua itu meletakkan tangannya di dahi Biba. "Mungkin yang sakit adalah bagian yang tidak terlihat. Kalau benar demikian, maka tidak ada tanaman obat yang dapat memulihkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanfictionSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...