Biba dan rombongan kembali di pagi buta dengan ribuan rougee berkumpul untuk menyambutnya.
Di barisan paling depan, ada para tetua. Beberapa rougee dewasa yang biasanya hanya peduli pada diri sendiri juga hadir di sana.
Semua orang melihat Biba dengan tatapan serupa. Mata mereka menyiratkan satu perasaan yang sama bahwa mereka telah melihat cahaya di ujung terowongan.
Biba lagi-lagi merasa déjà vu. Dia pernah menerima tatapan seperti itu jauh sebelum dia datang ke tempat ini. Biba bukannya membencinya, dia hanya tak suka dengan apa yang akan terjadi setelahnya.
"Tolong terima penghormatan kami."
"Tidak!" bentakan Biba membuat seorang tetua yang tadinya hendak berlutut padanya mematung seketika. Bibir Biba bergetar dan napasnya memburu. "Aku bukan apa pun itu yang kalian pikirkan tentangku, jadi berhentilah melakukan hal yang tidak berguna."
Biba mengeratkan tas berisi daging di punggungnya, lalu pergi dengan langkah lebar. Anggota rombongan Yuvgen yang lain segera lari menyusul, sementara Yuvgen tetap tinggal di tempat, menegakkan badannya menghadap orang-orang itu.
"Apa kalian tidak sadar apa yang barusan kalian lakukan?" Yuvgen menatap mereka sengit. "Dia hanyalah seorang anak yang bahkan belum sempat untuk menyembuhkan luka-lukanya sendiri dan kalian dengan tidak tahu malu ingin meminta sesuatu darinya? Sebagai sesama rougee, ini benar-benar mengecewakan."
Setelah dia melempar ekspresi marah untuk sang nenek yang terselip di antara banyaknya orang, Yuvgen akhirnya pergi. Di depan pintu gua mereka, March dan yang lainnya terlihat sedang mendiskusikan sesuatu dengan cemas.
"Ke mana dia pergi?" tanya Yuvgen.
March menjawab, "Sepertinya dia naik."
Yuvgen menyerahkan semua bawaannya pada Wano, lalu segera memanjat ke atas.
Barisan pegunungan yang ditinggali para rougee memiliki puncak datar yang dapat difungsikan untuk banyak hal. Saat Yuvgen sampai di sana, dia melihat Biba sedang duduk memeluk kaki di antara gantungan kain-kain jemuran yang melambai tertiup angin.
Matahari akan terbit sebentar lagi. Langit gelap perlahan berubah menjadi merah.
Yuvgen diam-diam duduk di samping Biba. Menunggunya dengan sabar tanpa bertanya.
Setelah beberapa waktu mereka lalui dalam keheningan, Biba akhirnya bersuara. "Aku bukan boneka yang bisa dimainkan oleh siapa saja."
"Aku tidak pernah menganggapmu demikian, bahkan tidak sekali pun terlintas di pikiranku."
"Kau bilang kau dan semua rougee membenci Tearvale. Sekarang ada aku, kekuatan yang bisa menghancurkan musuhmu tepat di depan matamu. Bukankah omong kosong kalau kau mengatakan bahwa kau tidak ingin memanfaatkanku?"
"Aku sama sekali tak berniat untuk memanfaatkanmu! Kau pikir aku serendah itu?!" Yuvgen tanpa sadar meninggikan suaranya dan langsung menutup mulut rapat-rapat saat ia melihat air mata mengalir menuruni pipi Biba.
Biba memeluk lututnya semakin erat. "Ketika kau menyelamatkanku dulu, apa kau sungguh-sungguh tidak memiliki tujuan lain? Mungkin kau melihatku selamat dari Si Merah tanpa terluka dan berpikir bahwa mungkin aku adalah sesuatu, makanya kau membawaku ke sini."
"Kau benar-benar membuatku marah, Biba," desis Yuvgen.
Apakah mungkin bagi seseorang untuk menyelamatkan orang asing tanpa tujuan tertentu? Apakah ada orang yang sungguh-sungguh ingin membantu seseorang yang tak ia kenal tanpa mengharapkan imbalan? Biba menggaungkan pertanyaan-pertanyaan itu di benaknya kala ia melihat betapa tulusnya emosi yang Yuvgen tampilkan karena asumsi sepihak yang baru saja ia lontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanficSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...