"Kau benar-benar membunuh mereka?"
Biba sungguh berharap bahwa Ethan akan menyangkalnya. Akan tetapi, Ethan justru mengangguk tanpa sedikit pun keraguan.
"Aku sengaja merusak roda kereta Liam dan dia pun mati dalam sebuah kecelakaan. Waktu itu, Colline sedang hamil muda. Dia sangat terkejut dengan kematian Liam hingga keguguran. Kesedihan yang menumpuk dalam dirinya akhirnya membuatnya merenggut nyawanya sendiri," Ethan menceritakan masa lalunya seolah-olah itu adalah kisah orang lain. Suaranya terdengar sendu, tapi dia juga tidak terlihat terganggu dengan semua itu.
Biba kehabisan kata-kata. Kepalanya mendadak terasa pusing. Bibir Biba bergetar, entah karena kedinginan atau karena ia sedang berusaha menahan emosi yang meluap dalam dirinya.
"Ayahku tahu apa yang telah ku lakukan." Ethan membuka satu per satu kancing kemejanya untuk menunjukkan sebuah bekas luka besar di dadanya—dekat jantung. "Dia pernah mencoba membunuhku sekali. Aku benar-benar hampir mati saat itu, tapi aku diselamatkan. Semua hal yang ku lakukan selama ini semata-mata hanyalah untuk bertahan hidup."
"Tidak," sahut Biba. "Kau hanya mencari pembenaran untuk semua kesalahan yang telah kau perbuat, Ethan."
"Yah, aku tidak akan minta pengertianmu. Sekarang semuanya terserah padamu. Apakah kau akan tetap menggenggam tanganku yang penuh darah ini atau kau akan pergi. Silahkan pilih sendiri."
Biba menatap Ethan tanpa suara, lalu mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan. Sejujurnya, Biba tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Dia belum pernah diajari cara untuk menghadapi sesuatu semacam ini.
Sejak awal, meskipun ia tak pernah mengatakannya, Biba mempercayai Ethan. Biba pikir dia bisa bergantung padanya. Namun, sekarang Biba benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
"Biba." Ethan memanggil Biba sebelum ia naik ke punggung kudanya. "Terakhir kali aku katakan, masa laluku tidak akan menguntungkanmu pun tidak akan merugikanmu. Itu sama sekali bukan urusanmu."
Biba tidak membalas. Dia hanya melirik Ethan sebentar, lalu memecut kudanya menjauhi kediaman.
Badai masih mengamuk, tapi Biba sama sekali tak berniat untuk berhenti. Sekarang, Biba hanya ingin pergi dan tak menoleh lagi.
Biba pergi menuju utara, melompati tembok Kota Ambrossia yang masih sama seperti terakhir kali dilihatnya. Hujan perlahan reda, tapi awan mendung masih menutupi langit. Biba berbelok membelakangi arah matahari terbit. Mengajak kudanya untuk terus berlari menyusuri sepanjang tembok yang melindungi Tearvale dari Si Merah yang bersembunyi di balik hutan-hutan gelap pegunungan.
Biba tidak tahu berapa lama waktu berlalu dan tidak ada tujuan baginya saat itu. Dia baru menyadari bahwa dirinya telah pergi terlalu jauh ketika kudanya sudah tak sanggup lagi dan jatuh di atas tanah. Biba tersungkur, berguling-guling hingga wajah dan lengannya tergores bebatuan.
"Lagi!" Biba berteriak pada langit kelabu. "Apakah tidak ada orang yang benar-benar bisa ku percaya di dunia ini?"
Saat Biba hendak menutup matanya, dia mendengar suara desingan samar.
Biba langsung bangkit dan melangkah mundur. Dari gelapnya hutan, Si Merah menunjukkan dirinya sedikit demi sedikit.
Perbukitan tinggi yang ada di hadapan Biba saat ini adalah dataran yang dulu ia dan orang tuanya lewati untuk kabur dari Si Merah. Ingatan mengerikan itu mendadak berputar di kepala Biba, membuatnya berpikir kalau saja orang tuanya selamat waktu itu, mungkin Biba tidak harus begitu menderita seperti ini.
Setidaknya, Biba masih memiliki seseorang yang benar-benar bisa dia percaya sepenuh hati.
Pada sebagian besar waktu, Biba selalu membayangkan bagaimana kalau orang tuanya masih hidup, sementara di waktu yang lain Biba berandai-andai bagaimana bila dia tidak selamat tujuh tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPEN
FanficSetelah Si Merah menelan habis seluruh desa dan menjadikannya yatim piatu, Biba berusaha melanjutkan hidup yang damai demi mengabulkan doa terakhir ayahnya. Akan tetapi, sekali lagi Biba dihadapkan pada kematian, lalu selamat hanya untuk bertemu den...