Chapter 33 - White Doves

168 30 29
                                        

"Jonashel, ini tidak seperti yang kau katakan padaku!"

Sosok tinggi berambut pirang menerobos masuk ke kamar Jonashel di kuil ketika dia masih merapalkan doa dan pujian-pujian untuk dewinya. Pria itu merenggut bahu Jonashel, lalu meninju wajahnya begitu keras hingga mulutnya robek dan berdarah.

"Apa-apaan ini, Kai?" desis Jonashel marah.

Kai mencengkeram tunik putih Jonashel dan berujar tepat di depan mukanya. "Biba mati, kau tahu?!"

Jonashel terkesiap. "Tidak mungkin..."

"Theo hendak membawanya ke Amaram, tapi putra mahkota menemukan mereka dan Biba..." Kai menggigit bibirnya. "Putra mahkota melemparnya ke dalam jurang yang dikuasai oleh Si Merah."

"Bagaimana bisa..."

Kai tidak dapat mendengar gumaman Jonashel dan terus mengguncang tubuhnya penuh emosi. "Apa yang dulu Sang Dewi katakan padamu, hah?! Kita menyelamatkan Ethan karena kau bilang dia yang akan membimbing kita padanya, tapi dari semua orang justru dia yang katamu adalah penyelamat malah mati lebih dulu. Apa ini terdengar masuk akal bagimu?! Bagaimana seseorang yang tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri bisa menyelamatkan orang lain?"

"Aku tidak salah, Kai." Jonashel melepaskan dirinya dari pegangan Kai, lalu duduk lemas di atas lantai. "Aku yakin di hari ketika darah Biba memecahkan bejana air suciku, Sang Dewi telah menunjukannya padaku."

"Tapi dia mati. Itu kenyataannya dan semuanya adalah rencanamu!"

"Bukankah itu salahmu karena kau tidak bisa melindungi Biba sebagaimana kau harus melakukannya!? Kau harusnya melindunginya! Itu tujuanmu ada di sana!"

Jendela kamar Jonashel disusun dari pecahan-pecahan kaca berwarna yang membentuk sosok Dewi Galathea. Ketika seutas cahaya menembus jendela itu, sinar lurus berwarna-warni akan muncul, lalu jatuh di atas lantai batu yang diduduki Jonashel.

Kai masih diam memunggunginya, menata emosinya yang membumbung keluar. Ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan, tapi mereka juga tidak tahu harus melakukan apa.

"Di antara semua kejahatan yang pernah ku lakukan, bohong bukanlah salah satunya," Kai berujar lirih. "Aku lebih memilih untuk tidak mengatakan apa-apa daripada berkata tidak jujur. Makanya, waktu aku bilang aku tulus berteman dengan mereka... Aku..."

Kai mengusap wajahnya, menyeka air mata yang hampir mengalir keluar.

"Kita telah gagal dengan Diaken dan sekarang Biba juga. Mungkin ini waktunya untuk kita berhenti."

"Tidak!" potong Jonashel. "Aku tidak akan berhenti sampai Weisschapel bebas!"

"Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang?"

"Kita harus menunggu. Mungkin Sang Dewi akan menunjukkan jalannya pada kita." Jonashel menggeleng pelan. "Selama ini, kita hanya melakukannya dengan cara kita sendiri. Tidak ada tanda, tidak ada petunjuk. Hanya Biba... Hanya pada Biba, aku melihat cahaya."

"Jo, ku rasa mungkin kau harus memeriksa lagi seperti apakah dewi yang selalu kau puja-puja itu. Apa kau tidak takut seandainya kau sedang ditipu oleh sesuatu yang menyamar sebagai dewimu?"

Jonashel mengalihkan pandangannya pada wujud dewi di jendelanya. Dia selalu percaya. Imannya begitu kuat seperti baja. Namun, setelah Kai mengatakannya, mendadak setitik ragu terselip di hati Jonashel.

Semuanya dimulai oleh Sang Dewi dan berakhir menjadi bencana karena dia membiarkan dirinya ditipu oleh sosok yang berpura-pura menjadi dewinya.

"Lihatlah lagi, Jonashel. Hanya kaulah yang tahu apakah kita sedang berada di jalan yang benar atau tidak."

THE CRIMSON SAGA | TXT ft. ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang