2. Mulai Dari Mana Kesalahan Berasal?
Setelah ketukan pintu disusul suara yang familier terdengar, setelah Bastian meninggalkannya demi menggantikannya menghadapi wanita itu, Julian tidak bisa lagi fokus bekerja.
Julian menghela napas kemudian bangkit dari kursinya, berjalan mendekati pintu yang tertutup, yang menjadi satu-satunya pembatas antara dirinya dengan sang istri saat ini.
Sekalipun terhalang pembatas, tetapi telinganya masih mampu mendengar setiap dialog yang ada di balik papan kayu tersebut.
Selama tiga tahun pernikahan mereka, Julian tidak pernah bisa mengendalikan Edith. Istrinya selalu bersikeras atas apa pun keinginannya, atas apa pun yang ia percaya.
Walaupun tingkah Edith hari ini agak aneh, Julian percaya bahwa manusia tidak mungkin bisa berubah hanya dalam waktu semalam.
Walaupun kini Edith menghampirinya dengan kepala dingin—biasanya Edith selalu berapi-api jika dihadapkan dengan apa pun yang bersangkutan dengan suaminya—Julian meyakini dirinya untuk tidak tertipu.
Tanpa ragu tangannya memutar kunci yang tersangkut di pintu, membuatnya terkunci seorang diri di dalam ruang kerjanya, terkunci dari dalam.
"Aku sudah tahu, dia tidak mungkin berubah. Untung aku tidak tertipu."
Yang membuat Julian berkata demikian tentu saja Edith. Karena ketukan pintu yang dilayangkan oleh wanita itu kini telah berubah menjadi gedoran kasar, karena kata-kata bujukan lembut wanita itu kini berubah menjadi nyalak.
"JULIAN, KUBILANG BUKA PINTUNYA, SIALAN!"
Julian tidak bergerak dari tempatnya meski gedoran pintu dan kata-kata kasar penuh caci maki yang ditujukan untuknya masih terdengar. Julian tidak melakukan apa pun selain memandangi pintu sembari membayangkan seperti apa ekspresi istrinya saat ini.
"DASAR PRIA TIDAK TAHU MALU!"
Kata-kata itu yang terakhir keluar dari mulut Edith, sebelum akhirnya yang terdengar di telinga Julian menjadi hentak-hentakan kaki pada lantai yang lambat laun kian memudar.
Edith sudah pergi. Dia menyerah, tapi masih tenggelam dalam amarah.
"Masih tidak berubah," Julian bermonolog tanpa emosi. "Masih tidak sabaran, masih mudah terbakar emosi, dan ... masih membenciku," imbuhnya lagi. Nada bicaranya masih sama—datar.
Namun, beberapa detik setelahnya, Julian terkekeh sinis dan tersenyum tipis dengan segelintir rasa getir.
"Aku tahu akhirnya akan selalu seperti ini. Apa yang kuharapkan?"
***
Waktu makan malam telah usai, seluruh pekerjaan yang harus Julian kerjakan hari ini juga sudah selesai. Karena itu, kini, di sela waktu senggangnya, Julian bisa bebas menikmati segelas wiski dan menyesap satu batang cerutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Won't Get Divorce!
Historical FictionKetika keinginannya untuk bisa mengulang waktu terwujud, Edith segera berusaha memperbaiki hubungannya dengan suaminya, Julian. Ia berjanji tidak akan lagi berteriak, memaki, ataupun melemparkan surat perceraian pada sang suami, juga akan memaklumi...