9. Rasa Bersalahnya Datang Terlambat
Semakin ditunggu-tunggu, maka waktu akan terasa berjalan semakin lambat. Sepertinya itu sudah menjadi sebuah hukum alam. Edith pun merasakannya selama beberapa jam terakhir.
Setelah menemui Julian pagi tadi di depan kamar tidur pria itu, dunia Edith terasa menjadi berputar dengan sangat lambat.
Ia sangat menantikan waktu makan siang, berharap itu segera tiba dan berlalu hanya karena ingin bisa kembali menemui suaminya sesuai dengan kesepakatan mereka bersama untuk bertemu kembali di ruang kerja Julian selepas jam makan siang.
Karena itu, ketika matahari sudah naik ke posisi puncak, ketika pelayannya memberitahu jika sudah waktunya pergi ke ruang makan, Edith pun bergegas pergi untuk menurutinya.
Edith tidak menikmati makan siangnya dengan benar. Ia hanya memasukkan makanannya ke dalam mulut dengan terburu-buru tanpa peduli jika bisa saja pencernaannya menjadi terganggu karena hal itu.
Edith juga tidak mengosongkan isi piringnya hingga tuntas. Ia hanya memakan beberapa suap kemudian pergi.
Ke mana lagi? Tentu saja ke ruang kerja Julian.
Edith segera mengetuk pintu di hadapannya. Namun, tanpa menunggu si pemilik ruangan membukakan pintu untuknya, Edith dengan mandiri sudah membukanya sendiri. Tapi ia tidak langsung masuk tanpa permisi begitu saja—tidak seperti dirinya biasanya.
"Julian, boleh aku masuk?" ujarnya, meminta izin.
Di saat yang sama, Julian yang baru saja mengangkat garpu dan mengarahkannya ke mulut jadi menunda sejenak niatnya untuk makan. Ia menoleh, memandangi ambang pintu.
"Masuklah," sahut Julian.
Pria itu mempersilakan seraya menurunkan garpu berisi sepotong salmon panggang miliknya dan menaruhnya kembali ke piring.
"Kau sudah makan siang?" ujar Julian lagi, bertanya.
"Sudah," jawab Edith singkat.
"Kenapa cepat sekali?"
"Aku tidak lapar jadi hanya makan sedikit."
"Lapar atau tidak, seharusnya kau tetap makan dengan benar."
"Kau saja yang makan dengan benar."
Edith berujar di waktu yang sama ketika bokongnya mendarat di atas kursi yang letaknya tepat berseberangan dengan tempat Julian duduk.
"Selesaikan dulu makan siangmu. Aku akan menunggu," sambungnya lagi.
"Akan kuselesaikan dengan cepat."
"Tidak perlu buru-buru. Nanti kau sakit perut."
'... Sepertiku,' imbuh Edith di dalam hati.
Baru sekarang sistem pencernaan Edith terasa tidak nyaman akibat makan siang cepat-cepat dengan porsi sedikit kemudian terburu-buru pergi menghampiri Julian ke ruang kerjanya. Tapi sakit di perutnya masih berada di tahap ringan. Edith masih sangat mampu menahannya.
"Kalau begitu, tolong tunggu sebentar."
Edith mengangguk. "Iya."
Setelahnya, Julian pun kembali mengangkat garpunya. Namun, mengabaikan kata-kata Edith, pria itu tetap makan dengan sedikit terburu-buru. Ia tidak ingin membuat Edith menunggunya terlalu lama.
Tapi apa boleh buat? Edith memilih untuk berpura-pura tidak tahu sebab dirinya tidak ingin Julian risi karena ia menjadi istri yang cerewet dan banyak mengatur.
Jadi, Edith tidak melakukan apa pun selain memandangi Julian yang tengah fokus menghabiskan makan siangnya.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat Edith tenggelam dalam lamunannya. Baru beberapa menit pertama setelah keheningan di antara mereka tercipta, Edith sudah terbawa arus pikirannya sendiri.
Edith baru ingat jika dirinya dan Julian tidak pernah lagi makan bersama. Tiga hari setelah menikahlah kali terakhir mereka duduk di ruang makan bersama-sama.
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Edith menemukan alasan untuk membenci Julian. Sejak saat itulah ia menjadi enggan melihat wajah suaminya.
Setelah menemukan alasan untuk membenci Julian, sifatnya berubah seratus delapan puluh derajat. Edith berubah menjadi wanita yang kasar dan bertemperamen buruk.
Setiap kali bertemu, Edith tidak hanya menghindari atau mengabaikan eksistensi Julian. Ia justru akan menghina, mencaci maki, bahkan menyerangnya menggunakan kekuatan fisiknya yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Julian.
Edith juga menitah Julian untuk tidak sembarangan menginjakkan kakinya selama di manor. Ia hanya mengizinkan Julian masuk ke kamar tidurnya sendiri juga ruang kerjanya, selain itu tidak boleh. Termasuk ruang makan.
Edith tidak ingin makan di meja yang sama dengan Julian karena selera makannya pasti langsung rusak jika dirinya melihat wajah Julian.
'Jadi, selama ini dia selalu makan di sini? Sendirian?' gumam Edith di dalam hati.
Edith bahkan menyuruh semua pekerja untuk tidak melayani Julian. Ia melarang siapapun untuk menganggap Julian sebagai tuan mereka.
Ini adalah manor Roderick. Karena itu, majikan mereka adalah Roderick.
Walaupun setelah mereka menikah, Julian menjadi kepala keluarga Roderick, tapi tetap hanya Edithlah yang memiliki darah Roderick. Karena itu, hanya Edith majikan mereka, hanya Edith yang perlu mereka layani.
"Bisakah kau berhenti menatapku?" celetuk Julian.
Sontak lamunan Edith menjadi buyar.
"Maafkan aku. Kau pasti kehilangan selera makanmu karena aku terus melihatmu," ujar Edith.
"Bukan begitu. Hanya saja ..."
Pria itu menggantung kalimatnya seraya membuang pandangannya ke sembarang sejenak. Dengan mulut terus mengunyah, Julian menahan diri untuk tidak salah tingkah, malu karena ditatap terlalu lama oleh istrinya.
"Baiklah-baiklah," balas Edith.
Tak ingin ambil pusing, ia pun menampik pandangannya ke arah yang lain. Ia menelisik seisi ruangan sembari menunggu Julian selesai dengan makan siangnya.
Untungnya piring Julian kosong tidak lama setelah itu.
"Aku permisi sebentar," ujar Julian tiba-tiba seraya berdiri.
Edith menoleh. "Kau mau ke mana?"
"Menaruh ini," jawabnya sambil mengangkat kedua tangannya yang memegang gelas dan piring kotor.
Hal itu membuat Edith jadi semakin menyadari betapa buruknya ia memperlakukan Julian selama ini. Suaminya itu bahkan harus menaruh gelas dan piring kotor bekasnya makan sendiri.
Ia telah membuat suaminya tidak memiliki martabat di mata siapa pun yang melihatnya. Ia telah merendahkannya hingga posisi Count of Roderick yang Julian emban saat ini tidak membuatnya memiliki status lebih agung bahkan jika dibandingkan dengan para pekerja manor.
"Aku akan segera kembali. Hanya sebentar," imbuh pria itu lagi.
Edith merengut getir. "... Baiklah."
Kenapa baru sekarang? Kenapa ... rasa bersalahnya datang terlambat?
.
.
Bersambung.
A/N:
Seneng banget akun ini udah tembus 1k followers, terima kasih banyak ya buat yang udah follow😊Luv u guys so much♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Won't Get Divorce!
Historical FictionKetika keinginannya untuk bisa mengulang waktu terwujud, Edith segera berusaha memperbaiki hubungannya dengan suaminya, Julian. Ia berjanji tidak akan lagi berteriak, memaki, ataupun melemparkan surat perceraian pada sang suami, juga akan memaklumi...