Ketika keinginannya untuk bisa mengulang waktu terwujud, Edith segera berusaha memperbaiki hubungannya dengan suaminya, Julian.
Ia berjanji tidak akan lagi berteriak, memaki, ataupun melemparkan surat perceraian pada sang suami, juga akan memaklumi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Padahal Edith baru melihat penampakan gedung kuil dari dalam kereta kuda, tapi rasa tidak sukanya sudah terukir sangat jelas di wajahnya, dan wanita itu sama sekali tidak memiliki niat untuk menutupinya.
"Ayo, turunlah."
Julian yang keluar lebih dulu dari kereta kuda yang mereka tumpangi segera mengulurkan sebelah tangannya, berinisiatif membantu istrinya turun.
Air muka Edith sedikit berubah ketika melihat tangan yang terulur padanya. Sembari menggenggam tangan pria itu dan berjalan keluar dari kereta kuda, ia mulai mencibir dirinya sendiri.
'Padahal semudah ini. Tapi, kenapa dulu kau tidak pernah mau menggenggamnya, Edith?'
"Pelan-pelan. Perhatikan langkahmu."
"Anak kecil pun tahu itu, Julian."
"Aku hanya mengingatkan karena khawatir."
Edith mendengus geli lalu terkekeh kecil.
'Kasihan sekali diriku di masa lalu karena tidak menyadari jika memiliki suami yang manis dan menggemaskan seperti ini.'
Berkat Julian—mari anggap saja itu berkatnya agar tujuan pria itu tercapai—Edith berhasil menapakkan kakinya di atas tanah dengan selamat. Namun, Julian tidak segera melepas genggaman tangannya dari Edith meski tugasnya sudah selesai.
"Lalu apa? Kau akan terus menggenggam tanganku seperti ini?" celetuk Edith usil.
"... A-ah, maaf."
Pria itu dengan kikuk segera melepas tangannya dari Edith. Namun, istrinya justru meraihnya dan menggenggamnya kembali.
"Kalau kau tidak mau, biar aku saja yang menggenggam tanganmu."
Julian tertegun. Untuk sesaat, yang bisa pria itu lakukan hanya lah mengerjapkan matanya sebelum akhirnya bergumam pelan sembari mengalihkan pandangannya sejenak.
"... Bukannya aku tidak mau."
Kening Edith berkerut. Ia pun segera mendekatkan telinganya ke arah Julian.
"Kau bilang apa? Aku tidak mendengarnya."
"Tidak, bukan apa-apa." Julian menggeleng cepat dan kembali berujar dengan volume suara normal.
Semilir angin tiba-tiba bertiup, membuat awan berarak-arak di langit. Julian refleks menyipitkan kedua matanya ketika sinar matahari menyorot langsung ke arah mereka sebab sudah tidak ada lagi gumpalan awan yang menghalangi.
"Ayo, sebelum semakin panas," ujar Julian.
Edith mengangguk konstan. "Baiklah."
Keduanya pun menggerakkan kakinya, berjalan beriringan melewati gerbang utama.
Tidak ada yang buka suara. Mereka berdua hanya berjalan berdampingan dengan langkah selaras di antara orang-orang yang berlalu lalang di halaman depan kuil.