Di dalam kereta kuda, Edith dan Julian duduk bersebelahan. Kendaraan yang mereka tumpangi bersama itu sudah melaju sekitar dua puluh menit sejak mereka meninggalkan manor.
"... lian? Julian?"
Edith sudah berulang kali memanggil nama suaminya. Namun, Julian baru memberi reaksi setelah Edith memanggilnya sembari menggoyang-goyangkan lengan pria itu.
Julian yang tersentak kecil pun akhirnya menoleh.
"... O-oh. Ya? Kenapa?"
"Kau tidak mendengarkanku ya?" tanya Edith dengan bibir mencebik.
"Ah, itu ..." Julian mengusap tengkuknya dengan canggung. "Maaf," susulnya.
Julian tidak bisa menyangkal sebab sejak awal keberangkatan mereka, ia terus melamun. Pria itu sibuk mengarungi isi pikirannya sendiri tanpa menghiraukan kata-kata Edith sama sekali.
Bukannya sengaja tidak menggubris, hanya saja Julian terlanjur tenggelam dalam rasa cemas dan gelisah sehingga atensinya tidak bisa dibagi.
Sejak pertama kali melihat gaun yang Edith kenakan, Julian tidak bisa mengenyahkan kekhawatirannya. Ia tidak bisa tenang, takut mimpi buruknya menjadi nyata.
Berusaha mengurai rasa canggungnya sendiri, Julian pun berdehem sebelum akhirnya berujar.
"Memang kau bilang apa? Boleh ulangi?"
Edith mendengus. Ia merasa kesal karena Julian tidak mendengar apa pun yang dirinya katakan sebelumnya. Padahal ia sudah bicara panjang lebar, tapi tidak didengar sama sekali. Itu menyebalkan, sungguh!
Namun, sesaat setelahnya, Edith termenung.
'Kalau aku merajuk padanya sekarang, berarti tidak ada yang berubah dari diriku, masih sama saja seperti sosokku yang dulu.'
Karena sejak awal memulai kehidupan kedua Edith sudah bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Julian, ia tidak boleh lagi mengedepankan egonya sendiri.
Lupakan dulu soal rasa kesal dan keinginan untuk merajuk. Komunikasi itu lebih penting.
Edith menarik napasnya dalam-dalam, berupaya menetralisasi emosinya sebelum menyetujui keinginan Julian untuk mengulang kembali kata-katanya yang sebelumnya tidak didengar.
"Aku tadi bilang, selama kita di pesta nanti, kau jangan pernah meninggalkanku. Sama sekali jangan! Kita harus terus bersama dan menempel satu sama lain dari awal sampai akhir. Kau mengerti?"
'... Eh?'
Bagaikan penawar kegelisahan, kalimat itu membuat Julian akhirnya bisa melihat secercah harapan.
'Jika Edith terus bersamaku, Pangeran Louis tidak akan bisa berdua saja dengan Edith. Itu artinya, mimpi sialan itu tidak akan menjadi nyata.'
Kesimpulan itu membuat beban di hati Julian terasa terangkat. Karena sudah merasa lega dan terbebas dari cemas dan gelisah, ia pun tanpa ragu langsung mengangguk cepat dengan ekspresi wajah yang seketika cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Won't Get Divorce!
Historical FictionKetika keinginannya untuk bisa mengulang waktu terwujud, Edith segera berusaha memperbaiki hubungannya dengan suaminya, Julian. Ia berjanji tidak akan lagi berteriak, memaki, ataupun melemparkan surat perceraian pada sang suami, juga akan memaklumi...