XXIII

2.4K 259 21
                                    

"Tapi, untukku yang sekarang, dia tidak lebih dari sekadar masa lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tapi, untukku yang sekarang, dia tidak lebih dari sekadar masa lalu."

Sama seperti Edith yang berujar dengan intensi mengurai kemurungan dari lawan bicaranya, Julian juga berharap kata-kata itu bisa menghibur dirinya. Namun, nyatanya pernyataan itu saja tidak cukup.

Retakan di hati Julian cukup besar sehingga tidak berhasil tertutup rapat hanya dengan satu buah kalimat.

"Saat pertama kali bertemu dengannya—"

"Kau tidak perlu melanjutkannya lagi." Julian memotong tanpa minat.

'Sebab aku tidak ingin mendengarnya. Karena ... kurasa, sepertinya aku tidak akan sanggup jika mendengar cerita tentang kalian lebih banyak lagi. Jadi, cukup. Tolong.'

Sayangnya, Edith tidak cukup peka untuk menyadari apa makna di balik kata-kata dan wajah mendung Julian saat ini. Ia tetap kukuh pada keinginannya untuk melanjutkan ceritanya karena ia berpikir ...

"Aku ingin menceritakan semuanya agar kau mengerti dan bisa lebih mengenal diriku dibandingkan orang lain. Aku ingin bersikap terbuka padamu, tanpa ada yang ditutup-tutupi."

Selama ini, satu-satunya alasan mengapa dahulu Edith sangat membenci Julian adalah karena ia tidak mengenal pria itu secara utuh. Terlalu banyak spekulasi dan kesalahpahaman terhadap Julian di kepalanya sehingga gambaran tentang Julian yang sesungguhnya terdistorsi.

Ia tidak ingin Julian juga merasakannya. Ia tidak ingin Julian membenci dirinya karena sebuah praduga yang tidak jelas kebenarannya.

Edith ingin memperkenalkan dirinya sendiri pada Julian, langsung dari mulutnya sendiri tanpa perantara. Edith ingin Julian tahu seperti apa Edith selama ini, dan apa saja pengkhianatan yang pernah dirinya lakukan.

Edith ingin, jika seandainya Julian harus membenci suatu saat nanti, bencilah dirinya karena kenyataannya, bukan karena kata-kata orang lain.

"Bolehkah?" ucap wanita itu lagi.

Julian menghela napas samar. Pada akhirnya ia menyerah. Dengan hati yang berat, ia memilih untuk mengalah.

"... Terserah padamu."

Tanggapan itu membuat Edith tersenyum tipis dengan sedikit hambar.

'Maaf, Julian. Tapi kau harus tahu sebanyak apa aku berbohong padamu,' ujarnya dalam hati.

"Kau pasti tahu, dulu keluargaku selalu datang untuk berdoa di kuil secara rutin setiap minggu. Aku pun juga begitu. Itu sudah menjadi agenda rutin kami.

"Bahkan setelah Ayah dan Ibu tiba-tiba tiada, aku tetap pergi ke sana bersama Theo. Tapi, setelah Theo pergi meninggalkanku juga ...

"Di saat dahulu aku selalu datang bersama keluarga, lalu tiba-tiba dalam satu waktu harus pergi ke sana sendirian, rasanya ...

Won't Get Divorce!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang