IV

4.4K 380 2
                                    

4. Atap Tempatnya Berlindung (2)

 Atap Tempatnya Berlindung (2)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu terus bergulir.

Karena sudah terlanjur nyaman, Julian sudah tidak lagi menghitung hari. Sehingga kini ia sudah lupa, sudah berapa lama persisnya dirinya tinggal di manor megah ini sejak pertama kali.

"Benar, Theo! Melangkahlah perlahan-lahan! Kakak akan menuntunmu! Ayo, jangan takut!"

Julian dengan sedikit cemas menatap lekat-lekat pemandangan di depan matanya—Edith tengah menuntun adik laki-lakinya mengangkat kaki selangkah demi selangkah dengan kaku.

Julian berdiri di dekat mereka, berjaga-jaga. Ia sudah siap siaga untuk menangkap tubuh mungil Theo kalau-kalau ia terjatuh, atau membantu Edith jika ia kewalahan mengajari adiknya cara berjalan.

"Bagus! Kau berhasil, Theo! Adikku pintar sekali!"

Edith bersorak gembira lalu memeluk adiknya karena bayi itu telah berhasil mencapai target belajar yang ia tentukan. Saat itulah Julian akhirnya bisa menghela napas lega.

Suara ketukan tiba-tiba terdengar, membuat Edith dan Julian sama-sama menoleh ke ambang pintu. Di sana tampak Ferdinand yang berdiri entah sejak kapan, menatap Julian dengan raut wajah muram.

"Julian, bisakah kau ikut Paman sebentar?"

Ini kali pertama Julian melihat Ferdinand memasang ekspresi seperti ini. Rasa leganya ketika melihat Theo berhasil berjalan tanpa terjatuh kini digantikan oleh kecemasan yang lain.

"... Baik."

Meski begitu, Julian tahu bahwa rasa takut harus selalu dihadapi. Karena itu, ia pun menyanggupi keinginan Ferdinand.

Sang Count tidak membawanya pergi terlalu jauh, hanya berpindah ke dalam sebuah ruangan yang ia pilih secara acak, hanya berjarak beberapa pintu dari kamar tidur Theo, tempatnya dan Edith berada semula.

"Ada apa, Paman?"

Pria dewasa di hadapannya sudah cukup lama terdiam, itu sebabnya Julian memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu.

Sepasang manik mata mendung menatap wajah Julian lekat-lekat. Bibirnya sudah terbuka, namun cukup sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Lehernya bak tercekat. Sampai akhirnya ia berhasil setelah bersusah payah, itupun suaranya bergetar.

"... Ayahmu sudah tiada, Julian ... Meninggal keracunan."

Julian terlalu terkejut untuk bisa berbicara. Kata-kata itu bagai petir di siang bolong yang menyambarnya langsung ke inti.

Julian tidak ingat dengan benar apa yang terjadi setelahnya. Ingatannya lompat dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya, meninggalkan banyak bagian rumpang yang tidak pernah bisa terisi.

Tiba-tiba Julian harus kembali ke Viscounty, pulang ke rumahnya untuk menghadiri upacara pemakaman ayahnya. Dan tak lama setelah itu, bahkan sebelum tanah yang mengubur peti mati Viscount of Bechtel mengering, ibunya pun ikut menyusul ayahnya ke surga—meninggal karena syok, stres, dan depresi berat akibat terlalu berlarut dalam kesedihan akan kepergian suaminya yang tiba-tiba.

Won't Get Divorce!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang