Ketika tidak melihat keberadaan sosok istrinya setelah mengedarkan pandangan ke segala penjuru, Julian melenggang keluar dari aula pesta.
Kakinya melangkah terburu-buru sampai nyaris berlari, menelusuri koridor istana dengan kepala tidak berhenti menoleh ke kanan dan kiri.
"Jangan seperti ini, aku malu."
"Kenapa harus malu? Hanya ada kita berdua di sini."
Padahal suara alunan musik pengiring yang bermain di aula pesta beralun dengan keras, bahkan masih terdengar sampai ke koridor meski samar-samar. Namun, bagai diberi petunjuk dan kemudahan oleh semesta, telinga Julian berhasil menangkap sepenggal dialog tersebut walau sayup-sayup.
Kakinya sontak berhenti melangkah sebab salah satu suara dalam dialog itu terdengar sangat familier untuknya.
Meski dalam ingatannya suara itu hanya pernah melontarkan gertakan dan teriakan, Julian tetap mengenalinya ketika yang terdengar saat ini adalah kalimat bernada manis dan manja.
Sebenarnya Julian tidak mau percaya pada intuisinya. Ia berharap apa yang ada di dalam kepalanya saat ini adalah sebuah dugaan yang salah. Namun, ketika tangannya menarik gagang pintu ruangan yang menjadi sumber penggalan dialog itu berasal, harapannya seketika berubah menjadi kekecewaan.
Walaupun ruangan tersebut hanya memiliki pencahayaan temaram, Julian yakin jika penglihatannya tidak salah. Julian jelas mengenalinya, karena wanita yang menjadi satu-satunya objek pandangannya saat ini benar istrinya.
Dua orang sejoli yang menghuni ruangan tersebut sontak menoleh dan menatap ambang pintu karena merasa terganggu.
"Kenapa kau datang ke sini?" sungut Edith sinis.
Julian hanya menaruh seluruh atensinya pada Edith. Ia tidak mau repot-repot memerhatikan siapa pria yang tengah memangku istrinya itu.
"Jangan ganggu kami dan cepatlah perg—HEI!"
Kalimat Edith diinterupsi oleh Julian yang menerobos masuk dengan napas memburu kemudian segera menarik wanita itu agar turun dari pangkuan pria lain.
"Apa yang kau lakukan?! Sudah kubilang jangan mengganggu kami!"
Julian mengabaikan celotehan bernada tinggi yang Edith lontarkan kepadanya sebab pusat atensinya kini sepenuhnya tertuju pada sebuah ruam di atas tulang selangka wanita itu.
Julian tidak sebodoh itu sampai-sampai tidak mengerti apa penyebab sebuah jejak merah bisa tertinggal di kulit cerah istrinya.
Julian marah. Sangat marah sampai tangannya terkepal erat dan rahangnya mengeras hingga membuat urat-urat di lehernya timbul. Namun, sampai titik ini, Julian masih belum mengatakan apa-apa.
Ia hanya melepas jasnya dan membungkus tubuh Edith agar tidak ada siapa pun yang melihat tanda ciuman di tubuh istrinya itu. Kemudian segera membawanya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Won't Get Divorce!
Historical FictionKetika keinginannya untuk bisa mengulang waktu terwujud, Edith segera berusaha memperbaiki hubungannya dengan suaminya, Julian. Ia berjanji tidak akan lagi berteriak, memaki, ataupun melemparkan surat perceraian pada sang suami, juga akan memaklumi...