XIV

2.7K 285 14
                                    

14. "M-maaf, Julian ... J-jangan Mati ..."

Julian pergi meninggalkan Edith sendirian di ruang kerjanya—setelah terjadi perselisihan pendapat di antara mereka—karena ingin memberi ruang dan waktu untuk Edith menenangkan diri, begitu juga untuk dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Julian pergi meninggalkan Edith sendirian di ruang kerjanya—setelah terjadi perselisihan pendapat di antara mereka—karena ingin memberi ruang dan waktu untuk Edith menenangkan diri, begitu juga untuk dirinya.

Namun, ketika dirinya sudah berada di taman untuk menghirup udara segar dan menjernihkan pikiran, ia justru merasa gelisah.

'Apakah tindakanku ini benar?'

Julian mulai ragu jika keputusannya untuk meninggalkan Edith adalah hal yang salah. Apalagi Edith menangis saat itu, saat terakhir kali dirinya lihat. Julian baru menyadari jika dirinya tidak tega.

'Apa seharusnya aku tetap di sana dan menenangkannya? Tapi ... dia membenciku.'

Selama ini, Edith membenci Julian secara terang-terangan. Karena itu, untuk tetap tinggal di sana dan berusaha menenangkan Edith agar berhenti menangis ... bagi Julian itu mustahil. Apalagi Julian percaya bahwa dirinya lah yang membuat Edith menangis.

Sudah lebih dari dua jam berlalu sejak terakhir kali ia berbincang dengan Edith, tapi tak sedetikpun Julian berhasil mengenyahkan sosok Edith dari kepalanya.

Ia di ambang dilema. Bingung harus mengikuti kata hati atau kepalanya.

Di tengah kebingungannnya itu, tiba-tiba sebuah suara nyaring seorang perempuan terdengar, mengacau lamunannya.

"Tuan! Tuan Count!"

Julian refleks membalik badannya. Terlihatlah Maria—pelayan pribadi Edith—yang berlari menghampirinya dengan raut wajah cemas dan kalang kabut.

"Ada apa?" tanyanya bingung.

"I-itu ... N-nona—oh! M-maksud saya Nyonya ..."

Perempuan itu memutus sementara kalimatnya yang terputus-putus akibat napasnya yang tersengal-sental. Dan, setelah napasnya menderu dengan lebih stabil, ia pun kembali melanjutkan perkataannya.

"Nyonya sakit, Tuan."

Julian mengerutkan kening. "... Sakit?"

Maria merespons dengan mengangguk cepat.

"Beberapa jam lalu, saya melihat Nyonya menangis sambil merintih kesakitan setelah keluar dari ruang kerja anda dengan langkah tertatih-tatih. Saya langsung membawanya ke kamar tidur pada saat itu dan segera memanggil tabib.

"Tabib berkata, Nyonya mengalami masalah pencernaan yang cukup parah karena tidak makan dengan benar sejak kemarin.

"Kondisi Nyonya sebelumnya sudah membaik setelah meminum ramuan herbal dan tertidur, tapi ... Nyonya tiba-tiba demam tinggi dan menangis sambil memanggil-manggil nama anda di dalam tidurnya.

"Saya bingung. Sekarang saya harus apa?"

Mendengar penjelasan itu, Julian segera bergegas pergi menuju kamar tidur istrinya. Sembari melangkah dengan terburu-buru, ia menitah Maria tanpa melihat lawan bicaranya yang tengah menyusul mengekorinya.

Won't Get Divorce!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang