Saudara

5 1 0
                                    


HAPPY READING ALL..

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YA..

-----

Rindu tak bertepi itu nyata adanya. Rindu yang hanya bisa diwakilkan oleh doa. Memeluk raganya mungkin sudah tak bisa, bertukar canda dan tawa juga sudah tak bisa. Selalu air mata yang mewakilkan setiap kata yang hanya bisa tertahan dalam ruang hampa.

Pak, rasa rindu ini amat menyesakkan dada. Aku bisa menatapnya setiap hari, tapi tidak untuk memanggil dan memeluk. Bapak sudah memilih untuk bersama mereka yang bapak anggap lebih baik dari kami. Mungkin dulu kami adalah permata hati bapak, tapi sekarang kamu tak lebih dari seonggok barang bekas yang kapan saja dapat oh aku lupa, sudah bapak buang tepatnya. Tapi yang harus bapak tahu, kami bukan sampah kami akan bangkit dan buktikan bahwa kamu bisa.

Dari tempatku duduk saat ini aku dapat melihat bapak sedang mendorong stroler Aska dan sesekali mengajaknya bercanda gurau. Bapak tampak sangat menikmati perannya menjadi bapaknya Aska.

Sayup-sayup aku mendengar suara perempuan, dan ternyata benar itu suara ibunya Aska. Dia datang dengan membawa mangkuk kecil yang bisa kutebak berisi makanan untuk Aska. Mereka terlihat seperti keluarga Cemara, ayah ibu dan anak yang tak kurang suatu apapun. Lengkap, bahagia, dan tak ada kesedihan sedikit pun. Tawa canda begitu menggema ditelingaku, tawa bapak yang dengan telaten mengelap sisa-sisa makanan disekitar mulut Aska, serta tawa Mbak Hesti menyuapi Aska yang sesekali melenggok-melenggokkan tangannya yang memegang sendok. Sempurna, tak ada cacat sedikitpun kebahagiaan mereka.

"Pak, dulu bapak juga kaya gitu ke Diandra, ke Sandi, trus kenapa harus berpaling sih pak?" Gumamku

Tapi tak terasa air mata ini juga ikut menetes, membayangkan betapa sakit hatinya ibu menyembunyikan semua kenyataan pahit ini. Kenyataan yang amat keras menampar kami, menyuruh kami untuk sadar bahwa sejak saat bapak memutuskan menjalin hubungan dengan Mbak Hesti maka sejak saat itu lah kami harus pergi dan memantapkan hati.

"Itu kakak, samperin kakak yuk!" Bapak mengarahkan stroller Aska ke arahku dan memang benar bapak mendekat kepadaku.

"Di"

Bapak menyapaku dengan nada amat canggung. Aku tak menjawab dan hanya diam sambil sesekali menatap ke arah Aska.

Aku sadar jika dia hanyalah bayi yang tak mengerti apa-apa. Tapi entahlah, aku masih sulit menerima jika ada saudara lain selain Sandi. Lain halnya jika mungkin bayi yang ada dihadapanku ini adalah anak kandung dari bapak dan ibu mungkin aku dengan senang hati akan menimangnya, mengajaknya bermain, bercanda, beli jajan beli ice cream. Tapi sayangnya itu hanya seandainya, karena kembali lagi faktanya Aska adalah anak bapak dari  perempuan lain dan itu amat susah untuk ku terima.

"Kok kamu diam saja Di"

"Aku harus gimana ya?"

"Ini kan adikmu juga. Mungkin dia ingin ajak kamu main"

"Mana mungkin dia tahu kalau aku kakaknya. Kami kan nggak pernah tinggal bersama, dan lagi dia kan baru beberapa hari di sini. Jadi dia nggak akan tahu dan jangan pernah kasih tahu"

Aku langsung berbalik arah dan bergegas masuk rumah. Ibu yang melihatku pun langsung berlari ke arahku dan meninggalkan cucian yang telah ibu setrika.

"Kenapa nduk?"

Aku masih tak bergeming. Nafasku begitu memburu dan kurasakan keringat bercucuran disekujur tubuhku.

"Ada apa? Cerita sama ibu. Heh nduk istighfar kamu, kenapa to nduk?"

Ibu terdengar begitu khawatir dan terus mengelap keringat di dahiku.

"Aku nggak papa kok buk, aku masuk kamar ya"

BENANG KUSUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang