SELAMAT MEMBACA ❤️
(Direkomendasikan sambil mendengarkan
Afgan - Untukmu Aku Bertahan)DILARANG PLAGIAT / COPAS‼️
---------------------
Menjemput Sapta, adalah hal yang paling menyenangkan untuk Kara. Padahal, jarak sekolahnya dan sekolah Sapta cukup jauh. Kara selalu merasa jika ia harus menebus rasa bencinya atas kelahiran Sapta dulu, menjadi sebuah kasih sayang yang belum sempat tersampaikan.
Kara tahu, jika adiknya sering menjadi bahan bullyan teman-temannya karena mengetahui latar belakang keluarga mereka.
Namun, Kara tidak pernah menyangka jika akan melihat Sapta dengan wajah memar seperti saat ini.
"Lo kenapa?" tanya Kara dengan wajah yang tegas. Membuat Sapta sedikit merasa takut.
"Aku tadi kebentur tembok, Bang," jawab Sapta ragu.
Namun, Kara bukanlah orang yang mudah dibohongi, dan mudah di bodohi. Kara tahu jika beberapa waktu belakangan ini, Sapta sering sekali di bully, dan menyembunyikan sesuatu. Itulah sebabnya, Kara selalu memojokkan Sapta agar bisa berkata jujur. Meski Kara tahu. Sebenarnya, ini cara yang sangat salah. Karena, bisa saja Sapta malah semakin takut, lalu semakin tertutup.
"Jujur sama Abang, atau Abang serahin ini semua sama Mas Raga?" ancam Kara yang membuat Sapta membelalakkan kedua matanya. Jika sudah berurusan dengan Raga, otomatis akan berurusan dan diselesaikan dengan Mas Abi juga.
"JANGAN! Aku serius, Bang. Aku emang kepentok tembok. Aku tadi lagi piket. Pas mau ke gudang belakang, kaki aku keserimpet lap pel. Ya udah ... aku gedebug lah, jatoh. Pas mau bangun, eh kepeleset lagi sampe nih pelipis aku kena ke tembok. Kalau Abang nggak percaya, aku ajak Abang ke Pak Toto, deh. Pak Toto tadi liat aku jatoh. Malah, Pak Toto juga yang nolongin aku. Aku jatohnya kayak begini, nih!" kata Sapta berusaha meyakinkan Abangnya yang sedikit keras kepala itu sambil berusaha memeragakan gayanya saat terjatuh. Menggemaskan!
Kara memicingkan matanya. "Serius bukan karena di gebukin?"
Sapta mengangguk mantap. "Dua rius! Nanti aku minta salep memar punya Mas Dika. Biar cepet ilang."
"Rajin amat Mas Dika sampe punya salep memar segala." kata Kara.
Sapta sedikit terkikik. "Soalnya, Mas Dika kepleset pas lagi benerin genteng sama Mas Raga."
"Hah?!" Kara Tak percaya.
"Abang lagi ekskul waktu itu. Jadi nggak tahu. Kata Mas Raga, nggak usah pake sandal. Tapi, Mas Dikanya bebal banget pengen pake sandal. Mana pake sandalnya punya Mas Jan lagi yang agak licin itu. Aku tuh bingung ya, Bang. Mas Dika tuh kenapa ya nggak pernah mau nurut sama Mas Raga? Nurutnya cuma sama Mas Abi doang." tanya Sapta dengan wajah penasarannya.
"Emang ciri-ciri adik durhaka tuh kayak begitu, Dek!" kata Kara.
"Berarti, Abang juga adik durhaka, dong? Soalnya, Abang juga nggak pernah nurut sama Mas Sena." celetuk Sapta.
Kara menatap Sapta tak percaya. "Maksud lo ape, tuyul? Emang kurang ajar lu ya!"
Sapta pun lantas berlari sambil tertawa, dan di ikuti oleh Kara di belakangnya.
●○•♡•○●
Hujan yang mengguyur di sore hari, membuat sebagian orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Selain karena jam istirahat setelah seharian penuh bergulat dengan dunia, cuaca yang dingin pun menjadi alasan kuat untuk tetap berada di sebuah bangunan yang disebut rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...