SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Malam rembulan berlalu
Hati masih bertaluBahagia denganmu, kini senyap
Jiwa tak bertuan."(Shanna Shannon - Rela)
●○•♡•○●
Seumur hidupnya, Sena jarang sekali yang namanya memikirkan sesuatu secara berlarut-larut. Meski pun mentalnya dihajar habis-habisan, Sena masih tetap bisa berdiri tegak. Namun, kali ini rasanya begitu kalut. Sepulang dari rumah sakit, Sena sempat memasakkan telur goreng untuk Kara dan Sapta. Itu pun tumben-tumbenan Sapta makannya sangat sedikit. Biasanya, Sapta itu makannya paling banyak. Katanya, biar cepat-cepat bisa nyusul tingginya Mas Jan.
Kara dan Sapta sudah masuk ke kamar mereka. Entah mereka memang sudah tidur, atau malah tengah memikirkan hal yang sama seperti Sena. Sena itu sangat menghargai waktu istirahatnya, dan juga menyayangi tubuhnya.
Sena jarang begadang seperti Dika dan Jantera. Itulah sebabnya, Sena selalu ngamuk jika Dika dan Jantera masih saja ribut disaat ia sudah tertidur. "Emang berengsek lo berdua! Tidur, atau gue aduin ke Mas Raga biar lo berdua tidurnya dipisah?!" itu adalah kata-kata keramat dari mulut Sena yang paling Dika dan Jantera hindari. Karena, kalau salah satu dari mereka tidur bersama Mas Raga, maka akan selalu ada siraman rohani dari Mas Raga, alias diomelin, alias diamuk sebelum tidur. Dan itu bikin males banget. Kalau kata Dika, itu tuh bikin tekanan batin.
Namun kali ini, rasanya Sena enggan untuk tidur di kamarnya. Sena memilih untuk duduk di depan TV seraya menyeduh teh hangat. Di depannya, ada dua kamar yang pintunya terbuka. Rasanya, sepi. Biasanya, ada Dika dan Jantera yang tengah saling menendang di atas kasur. Dan biasanya, ada Mas Abi yang tengah menyalakan lampu tidur, dan Mas Raga yang tengah membersihkan kasur sebelum mereka tidur. Kini, dua penghuni kamar utama tengah berjuang di kamar rumah sakit. Dan dua penghuni kamarnya yang lain, tengah memerjuangkan agar kedua kakaknya itu bisa kembali tidur di kamar rumah mereka seperti sedia kala.
Tak ada suara Mas Raga yang marah-marah, tak ada suara Mas Abi yang sedang menenangkan Kara dan Sapta yang sering banget cekcok. Kini, semuanya terasa sepi dan terlihat redup sekarang.
"Kok belum tidur?" Sena akhirnya bersuara ketika melihat Kara yang keluar dari kamarnya.
Tanpa menjawab, Kara langsung duduk disamping Sena, kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Sena. Hal yang jarang, bahkan hampir tidak pernah Kara lakukan mengingat Kara dan Sena itu sama-sama punya gengsi yang tinggi.
"Mau bikin teh hangat atau susu hangat? Mas bikinin," tawar Sena. Namun, Kara menggeleng.
"Mas, aku udah denger tentang Mas Abi dari Mas Jan," kata Kara.
Sena yang mendengarnya pun tidak bisa menjawab apa-apa. Sena yakin, jika jawaban yang Kara dapat, sama seperti yang ia dapatkan juga dari Jantera.
"Mas, kalau Mas Abi sampe nggak ada, kita gimana?" tanya Kara pelan dengan nada suaranya yang bergetar seperti menahan tangis.
Sena yang sedari tadi hanya diam pun langsung mengubah posisi duduknya, kemudian merangkul Kara. "Takut boleh. Tapi, mikirnya jangan sejauh itu, Dek. Kan belum tentu juga Mas Abi kenapa-kenapa."
"Tapi, dengan kondisi Mas Abi yang kena pukulan tepat di kepala, aku susah buat mikir yang baik-baik, Mas."
Sena sangat memahami keresahan dan ketakutan adiknya itu. Kara bukanlah anak kemarin sore yang bisa ia tenangkan dengan cara diiming-imingi permen. Ponsel Sena yang berada di sampingnya pun bergetar. Sena bisa melihat isi pesannya dari layar yang menyala. Sena lalu semakin mengeratkan pelukannya pada Kara.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...