60. Perjalanan Untuk Menerima

1.2K 164 34
                                    

SELAMAT MEMBACA ❤️

---------------------

"Bukan aku tak bisa tanpamu
Hanya saja, ku butuh waktu

Kadang, yang sulit bukanlah rindu
Tapi, semua kenanganmu

Meski ucapku tlah mengikhlaskanmu
Namun, di hatiku hanya kamu."

(Delladevina - Belum Sembuh)

●○•♡•○●

Sebenarnya, tak ada perasaan yang bisa dengan tepat dikatakan pulih. Selalu ada sisa-sisa rasa yang masih tertinggal. Semuanya hanya tentang mencoba untuk menerima dan terbiasa.

Keputusan Kara untuk kembali ke sekolah, memang sebuah keputusan yang tepat. Kara tidak berbohong ketika ia di rumah, ia selalu teringat Mas Abi. Bayangan Mas Abi itu seolah ada di setiap sudutnya. Mas Abi masih hidup dengan jelas dalam ingatan Kara.

Tak ada yang tahu, bahwa diam-diam Kara itu sering menangis sendirian setiap malam. Ia selalu berusaha setengah mati untuk menahan isakannya agar tidak terdengar oleh Sapta, meski pun adiknya itu sudah tertidur pulas. Untuk keluar kamar pun rasanya tidak mungkin. Kara tahu, jika kakak-kakaknya pasti selalu ada yang begadang. Kara tidak ingin menerima berbagai rentetan pertanyaan, meski pun ia tahu bahwa kakak-kakaknya itu siap membuka pelukan untuk menenangkannya.

Kara lebih memilih untuk menangis sendirian. Meratapi betapa kehilangan kali ini benar-benar memporak-porandakan jiwanya. Tidak pernah terpikirkan sama sekali bahwa hidupnya hanya berisi tentang kehilangan-kehilangan saja. Kara menangis hebat, namun tanpa suara. Itu adalah tangisan paling menyakitkan yang pernah ada.

"Mas ..."

Disinilah Kara sekarang. Di sebuah tempat yang menyadarkannya bahwa yang hidup, pasti akan mati. Dan yang mati, pasti akan dihidupkan kembali di kehidupan lain yang abadi.

Kara menatap dengan nanar dari kejauhan ke arah papan kayu yang bertuliskan nama 'ABINARA MADANA' disana. Tak pernah terpikirkan seumur hidupnya, bahwa ia akan kehilangan Mas Abi secepat ini. Ia lupa, bahwa dunia ini memang tempat yang fana.

Dengan langkah yang terseok, Kara berusaha semakin mendekat ke arah kuburan Mas Abi. Ia berdiri dengan tatapan kosong di depan pusara orang tercintanya itu. Dibanding pulang ke rumah setelah pulang sekolah, Kara lebih memilih untuk 'mengunjungi' Mas Abi yang memang kini dekat dengan rumah mereka yang dulu.

Kara berjongkok, kemudian membersihkan bunga-bunga di atasnya yang sudah mulai berantakan karena disiram hujan. Kara menyusunnya kembali, hingga kini kuburan Mas Abi terlihat lebih rapi.

"Biasanya, aku kesini kalau aku kangen sama ibu. Siapa yang nyangka kalau sekarang aku kesini juga karena aku kangen sama Mas?" monolognya di tengah-tengah kesunyian.

Kara terdiam cukup lama. Ia hanya memandang nisan kayu Mas Abi, seraya tangannya terus mengelus tanah yang mengubur jasad kakak tercintanya itu. Banyak sekali hal-hal yang bersarang dalam hati Kara. Hanya saja, Kara merasa kesulitan bagaimana cara mengungkapkannya. Semuanya seolah saling berlomba meminta dituntaskan. Sayangnya, Kara tidak sepandai itu dalam hal ini.

Matanya kian membasah tanpa ia sadari. Buliran bening perlahan luruh dari kedua mata indahnya. Rasa sesak kembali menyeruak. Ingin sekali rasanya ia berteriak atas rasa sakit yang seolah tiada habisnya.

Kara menyerah. Ia memilih untuk menangis seraya memeluk gundukan tanah itu. Kara merelakan seragam putihnya, dan juga pipinya terkotori oleh tanah yang ia peluk. Tidak peduli jika nanti Mas Raga akan marah besar karena kelakuannya ini. Yang jelas, Kara ingin seperti ini. Ingin berdua dengan Mas Abi.

IN THE END ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang