SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Perang telah usai
Aku bisa pulang
Kubaringkan panah, dan berteriak
Menang."(Nadin Amizah - Di Akhir Perang)
●○•♡•○●
Mas Raga masih terdiam menunggu jawaban dari Mas Abi. Setahu Mas Raga, saat Bapak pergi merantau, seluruh aset Bapak benar-benar Bapak titipkan pada Bi Inah, mengingat saat itu Mas Abi saja belum dewasa. Dan sekarang, Mas Abi berniat untuk menjual atau pun mengontrakkan rumah itu.
Bagaimana caranya jika surat paling berharganya saja tidak berada di tangan mereka?
"Mas?" tanya Mas Raga lagi.
Mas Abi tersenyum seraya berkata, "Sertifikat rumahnya ada di tangan Mas, Ga."
●○•♡•○●
Mas Abi sepertinya sungguh-sungguh dengan niatnya untuk pindah ke tempat yang lebih layak. Mungkin, orang-orang akan berpikiran jika Mas Abi ini terlalu nekat dan gegabah. Dalam keadaan ekonomi yang sulit, namun dengan percaya dirinya ingin pindah ke tempat yang lebih layak untuk mereka tempati.
Namun, bukankah kebanyakan orang hanya bisa menghakimi saja? Mereka bahkan tidak tahu seperti apa kehidupan seseorang yang sebenarnya.
Seperti biasa, sebelum tidur, Mas Abi selalu mengumpulkan adik-adiknya meski semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.
Entah itu Sapta yang sibuk dengan tugas sekolahnya, Jantera yang sibuk mengotak-atik barang yang rusak, entahlah ... Jantera akhir-akhir ini senang sekali menjadi tukang service dadakan.
Bahkan, kipas angin yang sudah rusak saja bisa kembali menyala di tangan Jantera. Belum lagi jika Dika sudah menguji kesabaran Mas Raga. Sena dan Kara? Tentu saja mereka berdua asyik dengan dunianya masing-masing.
Itu semua tidak menjadi masalah untuk Mas Abi. Asalkan keenam adiknya ada di hadapannya, Mas Abi merasa jika dunianya benar-benar memiliki cahaya.
"Ada yang mau Mas omongin," kata Mas Abi yang membuat adik-adiknya langsung menghentikan kegiatan mereka.
"Mau ngomong apa, Mas?" tanya Sena.
"Mas Abi nih kalau udah ngomong gitu, aku suka deg-degan," kata Sapta cemas.
Namun, itu tak berselang lama karena Sena dengan cepat mengusak rambut Sapta seraya tertawa kecil. "Lu udah berapa tahun, sih? Kayak bocah mulu dah perasaan."
"Orang aku emang masih kecil juga," balas Sapta.
"Kecil-kecil apa maksud lu? Noh, tinggi lu udah mau nyusul Abang lu itu!" kata Dika seraya menunjuk Kara dengan dagunya.
"Gue mulu. Sadar diri ya, Mas Mahardika Jagat. Tolong banget ini mah!" protes Kara.
Jantera yang jengah pun menghela napas berat seraya menoleh ke arah Mas Abi. "Mas, ini bocah-bocah dablek kalo aku tabokin satu-satu, nggak pa-pa, kan?" tanya Jantera dengan wajah datar pada Mas Abi.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Roman pour AdolescentsKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...