SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Aku ingin kau selalu ada disini
Tuk temani hari yang terus berganti
Karena aku tak pernah mau tuk sendiri
Raga dan jiwaku nyaman bersamamu."(Daun Jatuh - Antara Pagi dan Kau)
●○•♡•○●
•• sebab, dibalik segala pelik, selalu ada hal-hal baik, dan orang-orang yang tak pernah saling mengusik, yang patut untuk kita syukuri keberadaannya ••
Pagi-pagi sekali, Sapta sudah terlihat sibuk sendiri. Ia terlihat mondar-mandir mengelilingi rumah. Bahkan, sesekali, ia merecoki Mas Raga dan Dika yang tengah menyiapkan sarapan.
Mas Abi dan Sena sedang berada di belakang rumah untuk menjemur pakaian yang memang sudah Mas Raga cuci dari semalam. Memang sudah seperti itu kebiasaan Mas Raga. Mencuci pada malam hari. Katanya, kalau siang tidak ada waktu. Dan juga, biar semua baju-baju kotor tidak ada yang tertumpuk.
"Mas, lihat Mas Jan, nggak?" tanya Sapta pada Sena yang tengah menjemur. Mas Abi terlihat sedang mengambil beberapa cucian lagi.
"Lagi keluar," balas Sena.
Sapta yang mendengar itu pun langsung masuk kembali ke dalam rumah, kemudian menghampiri Kara yang berada di depan.
"Abang, Mas Jan mana, ya?" tanya Sapta pada Kara yang tengah mengepel teras.
"Biasa juga jam segini di belakang. Nggak ada emang?" Kara malah bertanya balik.
"Yeee ... kalau ada di belakang mah ngapain aku nanya. Abang nih suka aneh," ujar Sapta.
Kara terlihat menarik napas panjang. "Jangan sampe ini gagang lap pel mendarat ke ubun-ubun lo! Pergi sono! Masih pagi udah menguji seberapa tebal kesabaran gue aja!" dengus Kara.
Sapta yang mendengarnya pun seketika langsung memakai sandalnya, lalu berlari keluar pagar.
"Ada apaan lu pagi-pagi udah ngomel?"
Kara yang mendengar suara di belakangnya pun seketika menoleh. "Lah? Mas Jan?"
"Kenapa, lu?" tanya Jantera.
"Lah, itu si bocah tuyul mau kemana coba? Dia nyariin Mas, loh. Mas abis darimana emang?" tanya Kara seraya memeras lap pel yang sedari tadi ia pakai.
"Lah, gue baru bangun. Semalem kan gue ngerjain laporan sampe subuh. Si bocah tuyul siapa, sih? Sapta?" tanya Jantera.
Kara mendecak. "Menurut Mas? Siapa lagi di keluarga kita yang bisa aku panggil begitu? Mas Raga? Bisa-bisa aku langsung di coret dari kartu keluarga," kata Kara.
Jantera tertawa. "Lagian, aneh. Badan lo sama si Sapta aja gedean si Sapta. Ngaco banget."
"TAPI, MASIH TINGGIAN AKU, YA! TOLONG BANGET INI MAH! AKU ABANGNYA!" tegas Kara.
Jantera malah semakin tertawa. "Iya, lo abangnya," katanya seraya mengusak rambut Kara, kemudian kembali masuk ke dalam rumah.
"Abaaaang! Mas Jan nggak ada di sekitar komplek," kata Sapta dengan napas ngos-ngosan.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...