SELAMAT MEMBACA ❤
---------------------
"Bersemayam dalam ruang kedap
Mendewasakan diri yang tak siap
Mesti terlewat kan tetap melatih batin kuanggap."
(Feby Putri - Berkesudahan)
●○•♡•○●
•• jalan hidup manusia memang tidak pernah sama. tetaplah melangkah di jalanmu sendiri, kemudian lalui dengan penuh rasa pasti ••
"Udah Mas bilang, kalau mau ngerokok itu pintunya di tutup dulu, Jan! Kan kamu tahu sendiri kalo si bungsu gampang sesak. Ada apa?" tanya Mas Raga, yang melihat Jantera tengah merokok di teras rumah.
Jantera melirik sekilas ke arah Mas Raga, lalu dengan segera mematikan rokok yang sedari tadi ia hisap. "Iya, Mas." Jantera lantas merubah posisi duduknya,dan bersandar di tembok. "Mas belum tidur?" tanya Jantera setelahnya.
Mas Raga menggeleng, seraya duduk di samping Jantera. "Lagi ada masalah?" tanya Mas Raga.
Mas Raga sebenarnya sedikit heran. Biasanya, Jantera tidak pernah ada di rumah jika belum pukul sebelas malam. Jika tidak lembur, Jantera akan berada di luar yang entah itu dimana. Baik sendirian, mau pun bersama kedua adik tengilnya. Dika dan Sena.
"Nggak ada, sih. Cuma, lagi mikirin hidup aku kedepannya," kata Jantera.
"Apa yang kamu pikirin, Jan? Mau cerita sama Mas?"
Jantera menghela napas berat. "Aku cuma lagi mikirin hidup aku tuh mau dibawa kemana? Maksud aku gini, Mas. Umur aku udah 25 tahun. Masa depan aku tuh kayak masih gelap banget. Dan aku ngerasa nggak ada kemajuan. Masih gini-gini aja," tutur Jantera.
Mas Raga mengangguk paham. Mas Raga bisa melihat gurat kesedihan di wajah adik pertamanya itu. Sebelumnya, Jantera tidak pernah banyak bicara. Jika sudah seperti ini, bisa di pastikan Jantera memang tengah berada dalam fase quarter life crisis.
"Disaat orang-orang seusia aku udah nemuin jalan hidup mereka, bahkan pasangan, aku masih kayak bingung. Entah terjebak di masa lalu, atau malah emang nggak nemu jalan hidup," imbuh Jantera.
Mas Raga menepuk pelan bahu Jantera. "Jan, jalan hidup manusia tuh nggak ada yang sama. Waktunya pun berbeda-beda. Kalau kamu terlalu fokus sama apa yang udah di capai orang lain, kamu bakal semakin bingung sama diri kamu sendiri. Padahal, kalau di lihat lebih dalam lagi, kamu tuh udah punya pencapaian sendiri," tutur Mas Raga.
"Pencapaian? Apa pencapaian aku, Mas? Aku merasa nggak pernah mencapai apa-apa," kata Jantera.
Mas Raga tersenyum teduh menatap lekat adiknya itu. Ternyata, segagah apa pun Jantera, jiwa anak kecilnya masih lah ada. "Kamu udah bisa bertahan sampai detik ini pun sebuah pencapaian yang luar biasa, Jan. Kamu nggak menyadari itu emang?" tanya Mas Raga.
Jantera hanya bisa menatap kakaknya itu dengan tatapan bingung.
Mas Raga menghela napas panjang, seraya mengelus surai Jantera. "Jan, Mas tahu betul beratnya hidup tanpa Ibu dan Bapak. Selama ini, kita cuma saling bergantung satu sama lain. Bahkan, masalah pun rasanya saling tumpang tindih. Tapi, lihat! Meski jiwa kamu penuh lebam karena di hajar habis-habisan oleh keadaan, kamu masih bisa berdiri setegak ini," tutur Mas Raga.
Mendengar itu, dada Jantera rasanya sesak. Selama ini, ia tidak pernah sekali pun berbicara sedalam ini dengan saudara-saudaranya. Meski Jantera selalu bersama Dika dan Sena, tetapi Jantera tidak pernah berbicara tentang betapa rumit isi kepalanya saat ini. Karena, bagaimana pun juga, Jantera adalah seorang kakak untuk Dika dan Sena.
Dan kini, di depan Mas Raga, pertahanan Jantera seolah runtuh. Perlahan, buliran bening meluncur bebas dari kedua mata indah Jantera. Isakan yang tertahan pun pada akhirnya lepas begitu saja. Mas Raga yang melihat adiknya menangis itu pun seketika langsung menarik Jantera ke dalam pelukannya.
"Nggak pa-pa, Jan. Jangan terlalu mendam semuanya sendirian. Mas ada disini kalau kamu butuh apa-apa. Mungkin, Mas emang nggak bisa bantu kamu dalam hal materi. Tapi, kalau kamu butuh sebuah dukungan, Mas adalah orang pertama yang bakal maju paling depan buat kamu," tutur Mas Raga seraya mengusap lembut punggung Jantera.
Mendengar itu, tangisan Jantera semakin lepas. Namun, ada perasaan nyaman yang tak bisa Jantera sangkal ketika berada dalam pelukan kakaknya itu.
●○•♡•○●
Setiap manusia, pasti memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Disaat Jantera dan Mas Raga berbicara berdua di luar rumah, Mas Abi, Sapta, Dika, Sena dan juga Kara juga tengah berkumpul di kamar. Kelimanya tentu saja tahu masalah apa yang tengah mereka hadapi. Apalagi, semenjak semua adiknya tahu kenyataan yang selama ini di sembunyikan, Mas Abi belum sempat meminta maaf dan berbicara dengan mereka semua.
"Dek, Mas minta maaf," ucap Mas Abi.
Dika yang biasanya ceria, mendadak tidak bisa berekspresi. Rasanya berkecamuk. Selama ini, mereka semua mengenal Dika sebagai pribadi yang banyak bicara, dan juga suka bercanda. Namun, disaat-saat seperti ini, entah kenapa kepribadian Dika yang seperti itu seolah tidak lagi memiliki guna.
"Mas tahu, ini kesalahan besar yang Mas sembunyikan. Mas juga yakin, kalian pasti udah tahu semuanya. Tapi, Dek. Demi Allah, Mas nggak tahu keberadaan Bapak dimana sekarang," kata Mas Abi. Air matanya perlahan menetes.
Sena menepuk pelan pundak Mas Abi. "Aku tahu, ini pasti berat banget buat Mas. Bohong kalo aku bilang nggak kecewa sama Mas. Tapi, mau gimana lagi? Akhirannya udah begini," kata Sena.
Mas Abi mengangguk, seraya mengusap air matanya. "Sapta, Mas mau minta maaf sama kamu, Dek. Mas udah emosi sama kamu, tanpa Mas tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu. Mas benar-benar nyesel, Dek," kata Mas Abi seraya mendekati Sapta, lalu memeluknya.
Tanpa Mas Abi ketahui, Jantera dan Mas Raga sudah masuk ke dalam kamar.
"Aku nggak pa-pa, Mas. Tapi, ada satu hal yang masih mengganggu pikiran aku. Aku mau nanya sama Mas. Mas bakal jawab nggak?" tanya Sapta Ragu.
Mas Abi melepaskan pelukannya, lalu menatap lekat kedua retina adik bungsunya itu. "Adek mau tanya apa? Mas bakal jawab."
Napasnya memburu, telapak tangannya berkeringat. Sapta meraih segelas air yang memang selalu ia sediakan di dalam kamar, lalu meneguknya dengan susah payah. Tiba-tiba saja, Sapta di landa keraguan.
"Mas bakal jawab?" tanya Sapta. Mas Abi mengangguk. "Meski pun jawabannya nanti berat?" tanya Sapta lagi setelahnya.
Mas Abi menatap ke arah Mas Raga yang sudah duduk bersama Jantera diantara Kara dan Sena. Mas Raga yang mengerti apa maksud dari Mas Abi pun mengangguk. Jika memang pertanyaan Sapta nanti mengundang rasa sakit, mau tidak mau, siap tidak siap, Mas Abi harus menjawabnya. Dan jika memang sudah saatnya Sapta tahu, mungkin inilah waktunya.
Mas Raga pindah ke samping Sapta. "Adek tanya aja apa yang mau Adek tanyain ke Mas Abi," kata Mas Raga seraya menggenggam tangan Sapta untuk menenangkannya.
Sapta menghela napas berat, sebelum akhirnya ia bertanya, "Mas, kalau Mas nggak tahu Bapak dimana, apa Mas tahu Ibu ada dimana?"
-
-
-
bersambung ...
guys, please tell me! ini nge-feel nggak, sih? 🥺
kalo kurang nge-feel, aku bakal berusaha lagi di next part.
masih nunggu, kan?
Love, Grace ❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...