SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Walau masih bisa senyum
Namun tak selepas duluKini aku kesepian..."
(Maudy Ayunda - Kamu dan Kenangan)
●○•♡•○●
Selama hampir 26 tahun hidupnya, Jantera tidak pernah membiarkan tangan siapa pun melukainya. Namun, kini ia meruntuhkan segalanya dihadapan seseorang. Mahardika Jagat, adiknya yang berjarak tiga tahun darinya itu menghajarnya tanpa ampun. Dika yang selalu terlihat tengil, malam itu benar-benar tak ada lagi. Jantera merasa jika ia sudah membangunkan sisi lain yang telah lama tidur dalam tubuh adiknya itu. Bahkan, kekuatan otot-otot Jantera pun seolah tidak berguna lagi di hadapan adik pertamanya itu. Seluruh tubuhnya seolah lumpuh di detik itu juga.
Meski sudah saling mengucap kata maaf, Dika dan Jantera tetap memilih untuk berteman dengan keheningan sepanjang perjalanan pulang. Tak ada lagi musik yang biasanya mereka putar di dalam mobil. Keduanya masih mencerna apa yang telah terjadi.
"Mas? Kenapa Mas bisa kayak gini?" tanya Sena panik ketika mendapati Jantera yang pulang ke rumah dengan wajah yang babak belur.
Jantera hanya menggeleng seraya menepuk pelan bahu Sena, kemudian berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan darah dari mulut dan hidungnya.
Sena benar-benar khawatir melihat kakaknya yang tiba-tiba saja babak belur seperti itu.
"Mas? Itu Mas Jan kenapa? Kenapa dia balik-balik udah babak belur kayak gitu?" tanya Sena pada Dika yang baru saja masuk setelah memasukkan mobilnya ke garasi.
"Gue yang bonyokin. Abang lo itu emang sekali-kali perlu dihajar biar mikir!" kata Dika.
Mendengar itu, Sena melongo tak percaya. "Mas? Lo gila, ya?! Mas Jan bisa-bisa mati kalau lo gebukin kayak gitu!"
"Justru lebih baik kalau dia mati di tangan gue daripada dia mati konyol di tangan dia sendiri, Na!" kata Dika dengan nada sedikit tinggi.
Padahal, Dika sadar. Tidak ada yang lebih baik dari keduanya itu. Dan ia pun berani bersumpah demi Tuhan, jika ia tidak pernah memiliki niat sedikit pun untuk menghajar kakaknya itu hingga benar-benar mati. Dika tidak ingin Jantera mati. Tidak pernah ingin.
Sena kemudian diam. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi diantara kedua kakaknya itu. Tapi, setidaknya Sena cukup bisa memahami kemana arah perkataan Dika itu, dan kenapa kakaknya melakukan itu.
"Ada apa?" tanya Mas Raga yang keluar dari kamar karena mendengar keributan Dika dan Sena.
"Jan? Kamu kenapa?!" tanya Mas Raga panik.
Mas Raga keluar kamar bertepatan dengan Jantera yang juga keluar dari kamar mandi. Mas Raga menggeleng tak percaya seraya mendekati Jantera, kemudian mengusap pipi adiknya itu yang kini mulai membengkak.
Jantera menatap Dika yang sedari tadi juga menatapnya. Dika menatap kakaknya itu dengan tatapan nanar. Ada penyesalan terbesar di hatinya yang paling dalam. Seharusnya, ia tak sampai membuat Jantera seperti itu. Namun, jika tidak seperti itu, kakaknya itu tidak hanya bisa hilang kesadarannya. Ia bisa saja kehilangan nyawanya juga.
"Kalian berantem?" tanya Mas Raga ketika bergantian menatap Jantera dan Dika dengan tatapan tajamnya.
Semuanya terdiam. Bahkan, Kara dan Sapta yang semula sudah terlelap pun ikut keluar kamar ketika mendengar kegaduhan semua kakak-kakak mereka. Dua anak bungsu itu menyaksikan betapa kepergian Mas Abi menimbulkan kepecahan-kepecahan baru dalam keluarga mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...