SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Tak segampang itu
ku mencari penggantimu
Tak segampang itu
ku menemukan sosok seperti dirimu cinta."(Anggi Marito - Tak Segampang Itu)
●○•♡•○●
Buntut dari perbuatan Dika yang merobek celana Sapta, menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Sesuai ekspektasi, Sapta benar-benar membeli lima buah celana baru, dengan harga yang bisa dibilang cukup menguras isi dompet. Sapta mengirim rincian, hingga total belanjaannya pada Dika. Namun, Dika tetaplah Dika. Apa yang sudah ia janjikan, tidak akan pernah sekali pun ia ingkari.
"Itu totalan si Sapta? Wah, gila, sih. Lu beneran nurutin?" Sena terperangah melihat isi chat dari Sapta di ponselnya Dika.
Dika mengangguk. "Ya udah lah, Na. Yang penting, dia udah nggak pake celana yang kayak kemaren lagi. Mas Raga aja sampe gedeg banget. Lu mau beli apa?"
Sena yang mendengar pertanyaan Dika pun mengernyitkan alisnya bingung. "Lo nawarin gue?"
"Nawarin tukang gali sumur! Perasaan, otak lu nggak bego-bego banget deh, Na!" hardik Dika.
Sena mendecak. "Ya kan kali aja lo cuma basa-basi doang. Nggak usah, Mas. Makasih. Si Sapta aja udah abis berapa itu."
"Si Sapta gue beliin celana. Si Kara gue beliin sepatu. Lo mau apa? Gue mau adil sama semua adik gue," kata Dika.
"Tapi, gue lagi nggak butuh celana. Apalagi, sepatu."
Dika mengembuskan napas kasar. Ada kalanya, otak encer adiknya itu menjadi tidak berguna disaat-saat seperti ini. Dengan sisa-sisa kesabaran yang sengaja tidak ia babat habis, Dika mengelus surai Sena. Dan untuk pertama kalinya juga, Sena tidak menolak ungkapan sayang kakaknya itu.
"Na, yang namanya adil itu nggak melulu tentang segalanya yang harus sama. Adil itu, ketika kita mampu memenuhi apa yang dibutuhkan sesuai porsinya masing-masing. Hanya karena si Sapta butuh celana, bukan berarti si Kara sama lo juga harus gue beliin celana. Nggak gitu! Gue tanya apa yang si Kara butuhin. Si Kara butuhnya sepatu. Oke, gue beliin sepatu. Dan sekarang, gue tanya sama lo. Lo butuh apa? Gue beliin kalau emang gue mampu beliin saat itu juga. Kalo gue belum mampu, kasih gue sedikit waktu. Itu definisi adil menurut gue," tutur Dika.
Sena terdiam. Ia tahu betul sifat Dika, karena Dika adalah kakaknya. Tapi, ia tidak pernah tahu jika ternyata kakaknya itu memiliki sudut pandang yang begitu luas tentang bagaimana cara dia menjalani kehidupan. Karena, jika tengah bersamanya, isinya hanya sebatas cacian dan sumpah serapah saja.
"Butuh apa, Na? Kok lu bengong?" tanya Dika.
"Gimana ya, Mas? Yang gue butuhin saat ini tuh cuma dukungan. Gue masih ngerasa jadi manusia gagal di sini. Karena, cuma gue yang belum bisa bantu apa-apa menyangkut ekonomi keluarga."
Kata-kata dari Sena ini tentu saja di luar prediksi Dika. Dika paham apa yang tengah dialami adiknya itu. Dika langsung mengulurkan tangannya, lalu merangkul Sena.
"Na, nggak pa-pa kalau lo sekarang belum jadi apa-apa. Semua itu butuh proses. Gue tahu banget kalo sekarang, lo tuh lagi berjuang. Lo nggak mikir kalo gue tiba-tiba jadi berduit, kan? Lo tahu betul gimana perjuangan gue selama ini. Lo tahu gimana jungkir baliknya gue buat sampe di titik ini. Dan gue pun sekarang tahu betul kalo lo lagi berjuang buat masa depan lo. Nggak ada manusia gagal, Na. Tergantung kita mau berusaha, atau nggak. Lo paham maksud gue, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...