SELAMAT MEMBACA ❤️
(Direkomendasikan sambil mendengarkan
Suara Kayu ft. Feby Putri - Kembali Pulang)DILARANG PLAGIAT / COPAS‼️
---------------------
Langit yang mulai berwarna jingga, turut menjadi saksi akan percakapan dua kakak-beradik ini. Mereka bertukar pikiran dan perasaan tentang bagaimana hidup ini mereka lalui. Tentang Sapta yang akhir-akhir ini banyak mengeluh, dan juga tentang Mas Abi yang semakin hari, semakin kurus saja.
"Lu pernah ngerasa capek nggak sih, Mas sama kehidupan?" tanya Sena di sela-sela menyemili kuaci gopean yang ia beli di warung.
"Bohong kalo gue bilang kuat, Na." sahut Dika.
Sena menatap Dika lekat. "Mas, kenapa ya hidup kita tuh kayak gini-gini aja? Nggak ada berubahnya. Lu paham maksud gua, kan?"
Dika menyeruput es cekek yang ia beli di dekat sekolahnya Sapta. "Kata siapa? Kita bisa kuliah aja ini suatu perubahan, Na. Kalo kita puter lagi ke belakang, lu kepikiran nggak kalo kita bakal kuliah?" tanya Dika. Sena menggeleng.
"Lu kepikiran nggak kalo kita yang dulu buat makan aja susah, tiba-tiba bisa kebeli motor? Ya ... walaupun motor butut, sih. Tapi, lumayan itu bisa jadi modalnya Mas Jan." sambung Dika. Sena terdiam mendengarkan Kakaknya itu.
"Na, air laut aja ada pasang surutnya. Hujan deras juga ada redanya. Hidup ini tuh dinamis, Na. Nggak diem di satu tempat, dan nggak jalan di satu arah doang. Munafik banget kalo gue bilang nggak capek. Lu capek, gue capek, Mas Abi capek. Bahkan, sekecil si bungsu Sapta aja pasti ngerasain capek. Bedanya, ada yang berani bersuara, ada yang nggak. Lu tau kenapa?" tanya Dika menggantungkan kalimatnya.
Sena mengangguk. "Nggak semua orang bisa paham keadaan kita kan, Mas?" tanyanya.
Dika mengangguk, lalu menepuk pelan pundak adiknya itu. "Betul! Nggak semua orang mampu dan mau memvalidasi perasaan seseorang. Kalau lu ngerasa nggak mampu memahami seseorang, cukup diem dan dengerin aja! Nggak usah ngomentarin apa-apa kecuali kalo lu emang diminta. Apalagi sampe adu nasib ngerasa paling inilah, paling itulah. Yang menurut lu sepele, bisa jadi berat buat orang lain. Dan yang berat buat orang lain, bisa jadi cuma se ujung kuku doang buat lu. Nggak bakal ada abisnya adu penderitaan." tutur Dika panjang lebar.
Sena terdiam. Selama ini, Sena selalu menganggap bahwa Mas Abi itu paling capek diantara semuanya. Sena tidak menyangkal akan hal itu. Hanya saja, Sena lupa jujur pada dirinya sendiri kalau ia juga berhak merasakan apa itu lelah. Dan itu bukanlah sebuah kelasahan.
"Gue tahu. Lu tuh sebenernya pengen ngeluh, kan?"tanya Dika.
Sena mendelik. "Sok tahu, lu!"
"Lu bisa cerita sama gua kalo lu lagi ngerasa capek, Na. Gini-gini juga gua abang lu!" terang Dika.
"Mau lu nasehatin?" tanya Sena memastikan.
Dika menggeleng. "Ya nggak, lah. Gue ketawain."
"Emang babi!" dengus Sena.
Dika terbahak melihat ekspresi adiknya itu. "Lagian lu ada-ada aja pake nanya begitu. Balik, ayo! Udah mau maghrib. Lagi males gue dengerin ocehannya Mas Raga."
Sena tersenyum kecil. Dibalik peliknya hidup, ada senyuman Dika yang masih mampu mendekap batinnya.
●○•♡•○●
Segelintir tawa terdengar menggelegar di rumah kecil ini. Kara menceritakan bagaimana pelipis Sapta bisa lebam karena terjatuh di sekolah. Belum lagi, Sapta jatuh di depan sekumpulan anak-anak perempuan yang baru keluar dari perpustakaan. Wajah Sapta memerah karena malu. Namun, Sapta juga bahagia. Momen seperti ini, adalah saat-saat yang paling berharga di tengah kerasnya dunia yang menghantam mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...