Prolog

2.1K 87 0
                                    


Lampu kabin pesawat menyala. Tanpa menunggu instruksi dari pramugari, Indah sudah melepas sabuk pengaman dan mulai sibuk dengan laptopnya.

"Benar-benar kau ini, Max!" Indah mendesis, membaca surat tugas peliputan yang dikirimkan Robin.

Tadi pagi saat baru tiba di kantornya. Robin tergopoh-gopoh menyerahkan setumpuk berkas pada Indah.

"Kau harus baca ini. Cepat!"

Indah menerima tumpukan berkas. Wajah bantalnya kentara sekali kebingungan membaca berkas-berkas itu.

"Indonesia? Keturunan Belanda? Apa maksudnya?"

"Baca betul-betul baru komen!" Robin menjitak kening Indah. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan.

Indah bergumam pelan. Membaca kata perkata isi berkas. Matanya membulat menyadari Maxime, bosnya yang super otoriter itu membatalkan tugas Indah meliput acara Konferensi Internasional di Amsterdam.

"Tidak bisa. Ini tidak bisa dibiarkan, Rob! Aku sudah mempersiapkan semua. Aku sudah riset siang-malam. Sudah menghapal pertanyaan. Mana bisa posisiku digantikan begitu saja." Indah mencak-mencak.

"Kalau begitu ada baiknya kau berikan riset-riset itu padaku."

"Apa?" Kening Indah meruncing.

"Hmmm, Maxime menugaskanku pergi ke acara itu. Dan sebagai gantinya, kau yang pergi ke Indonesia meliput acara dokumenter untuk diikutsertakan dalam lomba."

"Kalian sudah gila?" Indah berseru. Selusin mata di ruangan itu mengarah pada Indah dan Robin. Indah langsung mengulum bibir, menunduk halus meminta maaf sudah mengganggu para staf.

"Aku harus menelepon Maxime!"

Robin menyergah Indah mengambil ponsel di tasnya.

"Kenapa? Aku harus protes Rob. Dia tidak fair memberiku tugas sedadakan ini. Aku tidak siap. Aku tidak punya bahan apa-apa untuk wawancara nanti. Kalau hasilnya buruk bagaimana? Aku bisa-bisa malah kehilangan pekerjaan!"

Robin mencengkeram erat lengan Indah. "Maxime percaya padamu, Indah. Dia tahu kau pasti bisa melakukan yang terbaik."

"Terbaik, terbaik, dia tidak lihat apa kemampuanku bagaimana? Aku baru setahun bekerja disini. Pengalaman jurnalistikku masih minim."

"Tapi harus kuakui, kau memang berbakat menjadi jurnalis. Tidak mungkin Maxime sembarangan memilih orang untuk meliput dokumenter sepenting itu. Kau pasti memiliki sesuatu yang tidak dipunyai wartawan lain."

Indah terdiam. Ucapan Robin tadi cukup menyentuh perasaannya.

"Lebih baik sekarang kau pulang. Siap-siap. Sore ini kau harus segera ke bandara. Maxime bilang pesawatmu akan berangkat pukul 7 malam."

Indah memijit tengkuk kepalanya yang sedikit kaku.

"Urusan tiket, uang saku, dan kebutuhan lainnya bisa kau tanyakan dengan Joshua." Robin menunjuk Joshua di ruangan berdinding kaca.

"Apa tidak ada seorang pun yang menemaniku pergi, huh?" Indah menggelayut manja di lengan Robin. "Setidaknya harus ada satu orang untuk tempatku berkeluh-kesah."

Robin melepas tangan Indah dari lengannya. "Tidak ada. Kau pergi sendiri!"

"Lalu siapa kameramenku? Aku tidak bisa melakukan ini sendirian, Rob."

"Makanya kau baca lagi berkas itu Indahhh! Disana tertulis jelas kau akan bekerjasama dengan media lokal untuk peliputan. Artinya, setiba di Jakarta akan ada seseorang yang bakal menjemputmu."

Indah mengerjap saat salah seorang pramugari menawarkan makanan. Seketika diorama kejadian tadi pagi lenyap dari benaknya.

"Anda ingin minum sesuatu, Nona?"

Indah menurunkan layar laptop. Beralih menatap sang pramugari.

"Ya?" terbiasa duduk di bangku ekonomi membuat Indah sedikit kagok dengan pelayanan pramugari di kelas bisnis.

"Bisa berikan aku kopi?" Penumpang di sebelah Indah tiba-tiba menyahut, wajah Eropa di balik topi abu-abu dan kaca mata hitam itu santai meminta pramugari membuatkan kopi untuknya.

"Anda, Nona?"

Indah menggeleng halus. "Nanti saja."

Pramugari bergegas pamit dari bangku Indah. Berjalan entah kemana ke bagian belakang.

"Kau seorang wartawan?"

Indah membeku. Tangannya urung menaikkan layar laptop. Menoleh ke sumber suara.

"Kau Indah, kan?"

Pria itu melepas kaca mata. Alisnya terangkat. Tatapan tajam itu seketika menghunjam dada Indah. Ia terenyak menatap sosok lelaki di sampingnya.

"Kau Indah, kan? Indah The Cinnamon?"

Indah terbelalak. Hanya ada satu orang yang tahu gelar aneh itu.

Pria itu mencondongkan badan ke depan. Tertawa karir. "Astaga, kau sungguhan Indah? Kau lupa siapa aku, heh!" ia menunjuk hidung besarnya yang sedikit bengkok.

Indah melongo. Ia sekarang tahu siapa penumpang di sebelahnya.

"Nath... an?"

Pria itu masih tertawa. Pipinya menyemu merah dihiasi bintik-bintik jerawat yang meradang. 


𝗖𝗲𝗸 𝗼𝗺𝗯𝗮𝗸 𝗱𝘂𝗹𝘂, 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝗿𝗮𝗺𝗲 𝗹𝗮𝗻𝗷𝘂𝘁... 

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang