Bab 3. Begitulah Cara Takdir Bekerja

862 89 5
                                    


Tujuh jam mengudara di langit Eropa. Melintasi Laut Hitam di perbatasan Yordania. Pesawat berbadan besar itu mendarat mulus di Bandara Internasional Hamad, Doha.

Indah sekali lagi mengecek kursinya. Bersih, tidak ada yang ketinggalan. Gadis itu santai menenteng tas ransel.

"Duluan, Nath."

Nathan menoleh. Sibuk memasukkan barang bawaan ke dalam tas. Boro-boro menyahut, pria itu kelihatan heboh sendiri membereskan barang-barangnya.

Pandangan Indah beralih pada dua teman Nathan di bangku belakang.

"Duluan, Thom, Ragnar."

Tak berbeda dengan Nathan, Thom dan Ragnar sama hebohnya membereskan barang-barang mereka. Ragnar sibuk mengambil marchandise Maskapai. Thom kebingungan mencari kabel chargernya. Meminta tolong pada salah satu pramugari untuk dibantu.

Indah menggelengkan kepala. Tak habis pikir melihat kelakuan pesepakbola profesional itu. 30 menit sebelum pendaratan, bukan berkemas beres-beres, mereka malah melanjutkan tidur sambil menunggu pesawat sempurna parkir di apron Bandara.

Indah sudah keluar dari pintu pesawat. Berjalan santai memasuki garbarata. Otaknya berpikir cepat mencari petunjuk arah menuju stasiun kereta cepat. Pengalaman mendarat di Bandara Zayed Abu Dhabi membuat dirinya lebih tenang saat transit di Bandara semegah ini.

Apa di Bandara ini ada Restoran Jepang?

Indah membatin selama perjalanan di dalam kereta. Pandangannya menatap ke luar kaca. Perutnya lapar. Makanan di pesawat tidak ada yang cocok dengan seleranya. Apalagi roti pemberian Nathan tadi sukses membuat Indah tiga kali bolak-balik buang air besar di toilet pesawat.

Sembari menunggu kereta tiba di tujuan, Indah mulai berselancar di jejaring sosial Instagram.

"Bajingan." Indah mengumpat kasar. Terus menekan pinggir layar ponselnya menonton habis Instastory Robin.

Robin berpose gagah di karpet merah. Berdiri membelakangi bendera-bendera anggota Konferensi Pers.

"Sialan." Indah menggerutu melihat postingan swafoto Robin dengan salah satu anggota kerajaan Belanda. Buru-buru memasukkan ponsel ke tas sebelum dirinya kian tantrum melihat postingan itu.

Indah terduduk lemas di area publik. Urung melanjutkan perjalanan ke foodcourt Makanan Jepang.

Pandangannya berubah datar. Wajahnya memerah. Indah tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya gagal terpilih menghadiri acara Konferensi Internasional itu.

"Harusnya itu aku...." Indah mengusap wajah. Air mata berjatuhan membasahi pipi tirusnya. Gadis itu terisak di tengah keramaian Bandara Hamad dini hari ini.

"Brengsek kau, Max."

"Siapa yang brengsek?"

Indah mendongak. Matanya saling bertemu pandang dengan manik mata Nathan.

"Siapa yang brengsek, hah? Sini biar aku tinju dia." Tangan kosong Nathan memperagakan gerakan meninju lawan.

Indah mendesis. Lekas memalingkan wajah menyeka air mata.

"Ini." Nathan memberikan selembar tisu pada Indah.

Indah patah-patah mengambil tisu itu. Menatap seksama. "Ini tisu apa?"

Kening Nathan mengerut. "Tisu wajah, lah. Memang tisu apa lagi?"

Indah tersenyum tipis. Berterima kasih. Mulai menyeka air mata di kedua pipi.

Nathan mendaratkan punggung di samping Indah. Memandang penuh tanya. "Kau baru putus dengan pacarmu?"

Indah menggeleng. "Max itu bosku."

"Kalian ada masalah?"

Indah mengela napas panjang. "Ya, Begitulah."

"Kau butuh teman cerita? Siapa tahu aku bisa membantu?"

Indah bergeming. Mengeratkan pegangan tangan pada tali tasnya.

"Cerita saja. Mungkin setelah bercerita, hatimu jadi lebih nyaman."

Indah memandang Nathan. Wajah itu menunggu jawabannya. Indah rasa tidak ada salahnya kalau ia menceritakan hal ini pada Nathan. Toh, mereka juga jarang bertemu. Dan hari-hari berikutnya Nathan pasti akan lupa dengan pertemuan mereka ini.

"Aku lapar. Temani aku makan Ramen di foodcourt sana." Jemari Indah menunjuk jejeran toko kecil tak jauh dari area publik.

Nathan mengangguk mantap. Antusias membuntuti Indah menuju tempat foodcourt.

***

Kepulan asap membumbung tinggi saat Indah menyeruput kuah Ramen. Gadis itu bersorak kegirangan memuji kenikmatan Ramen pesanannya.

"Ini tidak kalah lezat dari Ramen di Jepang." Di sela-sela menyantap Ramen, Indah masih bisa membandingkan kelezatan Ramen di Jepang dengan Ramen di Bandara Doha.

Nathan mengangguk-angguk. Menumpuk kedua tangan di hadapan Indah sembari memperhatikan gadis itu mengunyah Ramen.

"Kau yakin tidak mau mencobanya?" Jemari Indah menyumpit potongan mie. "Sedikit saja."

Nathan menggeleng. Kepalanya bergerak mundur ke belakang. "Aku sedang diet karbo."

Potongan mie berakhir di mulut Indah. Gadis itu nampak menikmati setiap helai mie yang masuk ke mulutnya.

"Jadi apa yang terjadi antara kau dan Max, si bosmu itu?"

Indah yang bersiap menandaskan sisa kuah Ramen, urung menyeruput kuah mendengar ucapan Nathan.

"Max tiba-tiba membatalkan tugasku meliput acara Konferensi Internasional di Amsterdam." Mangkok Ramen terbanting keras menghantam meja.

Nathan terkesiap. Menyisir pandangan ke seantero tempat foodcourt. Berbisik pelan pada Indah.

"Pelankan suaramu Indah, kita sedang di tempat umum..."

Sudut mata Indah kembali terisi penuh air mata. Peduli setan dengan tatapan orang-orang padanya. Indah sudah terlanjur emosi dengan Max.

"Padahal... Padahal aku sudah menyiapkan semua bahan wawancara. Sudah riset siang malam. Membeli jas terbaik. T... Tapi, tapi Max malah menggantikan tugasku dengan orang lain." Indah terisak. Sudah tidak terbendung lagi rasa kesal di hatinya.

Nathan mengela napas. Menepuk-nepuk punggung tangan Indah.

"Max malah mengirimku ke Indonesia untuk membuat Film Dokumenter. Tanpa meeting, tanpa persiapan apa-apa, dia hanya menitipkan surat tugas pada temanku." Indah menutupi wajah dengan telapak tangan, tidak ingin tangisnya dilihat orang-orang di foodcourt.

Melihat Indah larut dalam emosinya, Nathan bergegas bangkit dari kursi merangkul tubuh Indah ke dalam dekapan.

"Aku kurang apa, sih? Aku pintar. Aku berbakat. Aku bisa 5 bahasa internasional. Badanku proporsional. Apa yang salah, hah?" Indah tergugu. Kepalanya menyender di perut Nathan.

Nathan mengelus punggung badan Indah. Coba menenangkan. Pemandangan ini menarik perhatian satu-dua orang di meja makan foodcourt. Beberapa berbisik pelan. Ada yang tertawa geli. Beberapa lainnya acuh saja. Bukan urusan dia, selama tidak merusak tatanan kedamaian dunia. Cuek aja lagi.

"Kau wartawan hebat, Indah. Hanya orang seberani dirimu yang mampu menyanggupi tantangan Max. Kau harus menyelesaikan tugas itu. Buktikan pada orang-orang kalau kau mampu melakukannya."

Tersadar perut Nathan kembang-kempis menyentuh pipinya, Indah buru-buru mendorong kasar tubuh Nathan.

"Apa yang kau lakukan, Nath!" Indah berseru. Kaget mengapa dirinya bisa nyaman dalam dekapan Nathan.

Nathan meringis. Mengelus permukaan perut. Tidak dulu, tidak sekarang, tenaga Indah masih sama saja kuatnya menyakiti dia. 


𝘽𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙗𝙪𝙣𝙜

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang