Bab 14. Masuk Angin

720 88 5
                                    


"Aku demam, Soni."

Indah mengeluh. Mereka sedang terjebak kemacetan malam hari di kota Jakarta.

Syuting hari ketiga berjalan cepat. Pukul 10 pagi semua kegiatan telah selesai. Para kru berkumpul bersama. Mengucap rasa syukur sudah menyelesaikan syuting dengan lancar tanpa terkendala banyak masalah.

Pukul 12 siang, bus berpenumpang 20 orang itu meninggalkan Desa Lapang. Terus berlanjut memasuki tol bebas hambatan menuju Kota Jakarta.

Menjelang petang, rombongan itu telah tiba di Kantor Kumparan. Lebih cepat satu jam perjalanan pulang dibanding saat mereka pergi, karena jalan yang dilalui merupakan dataran landai perkotaan, bukan jalan terjal menanjak ke arah pegunungan.

Soni menoleh disela fokus menyetir. "Kau mau ke rumah sakit?"

Indah menggeleng lemah. "Aku ingin cepat sampai ke hotel. Ingin tidur. Badanku sakit semua."

Soni terkekeh. "Kau cuma masuk angin, Indah. Nanti kita mampir ke apotek di depan sana. Kau harus minum Tolak Angin, secangkir teh hangat dan pakai Salonpas."

Indah menoleh. "Itu apa? Obat?"

"Iya. Obat remaja jompo seperti kita." Soni menjawab santai. Ia sudah hafal betul penyakit Generasi Milenial sekarang. Umur saja muda, tapi badannya renta dihantam realita kehidupan dan ekspektasi hidup berlebihan.

"Tolong matikan AC nya. Dingin." Indah bersedekap. Matanya terkantup rapat. Gadis itu meringkuk di kursi penumpang.

"Dingin? Ini sejuk, Indah. Seperti musim semi di Rotterdam." Soni meniru gaya bicara Indah saat mengatakan udara dingin di Desa Lapang sejuk seperti kota kelahirannya di Rotterdam.

Tangan gadis itu balas menimpuk kepala Soni dengan botol air mineral. Lagi dan lagi, kebiasaan timpuk-menimpuk Indah terulang kembali saat Soni salah bicara.

"Iya, iya. Aku matikan. Tapi kalau kau kepanasan jangan protes, ya!" Soni mengacungkan jari telunjuknya. Mewanti Indah.

Gadis itu tidak peduli. Meringkuk di kursi sambil memejamkan mata.

***

Mobil berbelok pelan memasuki halaman apotek. Seorang juru parkir gesit mengarahkan Soni menuju area area parkiran. Pria itu meniup nyaring pluit. Mengomando dengan gerakan tangan. Maju, mundur, belok kiri, belok kanan, memeriksa bagian belakang mobil takut tertabrak mobil lain. Setelah dirasa pas, pria itu mengacungkan jempol tanda tugasnya sudah selesai.

"Ternyata banyak orang baik disini."

Soni menoleh. Keningnya mengerut.

Indah melepas sabuk pengaman. "Dia mau membantu kita memarkirkan mobil. Padahal itu pelajaran dasar sebelum mendapat surat izin mengemudi di Belanda." Menarik handle, akan membuka pintu.

"Tapi itu tidak gratis, Indah."

Gadis itu seketika terdiam.

"Kau harus membayar jasa mereka setelah kita pergi nanti." Soni ikut melepas sabuk pengaman. "Kadang-kadang malah tanpa dikomando. Tiba-tiba saja datang meminta uang parkir seperti hantu." Soni lebih dulu keluar dari mobil meninggalkan Indah yang masih terdiam tidak mengerti dengan maksud ucapannya.

Indah bergegas membuntuti Soni memasuki apotek. Manik mata gadis itu menatap keramaian pengantre di depan kasir. Segera menarik tangan Soni.

"Eh, kenapa?" Langkah Soni tertahan.

"Kita ke hotel saja. Banyak orang. Aku malas mengantre." Dagu Indah menunjuk orang-orang di kursi. Wajah mereka terlihat letih menunggu nomor antreannya dipanggil.

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang