Bab 20. Prasangka

688 83 6
                                    


"Jangan mudah percaya dengan orang baru, Indah."

Sepatu kets berwarna putih itu urung menjejakkan langkah ke halaman hotel. Indah teringat dengan perkataan Nathan tadi malam. Sebelum pria itu mabuk, mereka sempat bercakap santai di meja makan.

"Indah."

"Hmm." Jemari Indah mengetik cepat di keyboard laptop. Selintas ide brilian bermunculan dalam benaknya. Ia harus buru-buru mengeksekusi ide tersebut ke dalam tulisan.

"Kau suka ya dengan pria bernama Sena?"

Jemari itu berhenti menari lincah di atas keyboard. Menoleh.

"Eh, maksudnya, kau dan Sena ada hubungan apa?" Nathan memperbaiki diksi pertanyaannya.

"Tidak ada. Kita cuma berteman."

Nathan mengubah posisi duduk. Menarik kursi makan kian mendekat pada Indah. "Sungguh?"

Indah mengangguk. Menelisik maksud dari pertanyaan Nathan. Kenapa dia tiba-tiba bertanya begini? Jangan-jangan Nathan...

"Soni cerita denganku, katanya Sena mengajakmu melihat rasi bintang. Tapi apakah kau tidak merasa aneh saat dia mengajakmu pergi hanya berdua saja?"

Rasa senang Indah mendadak sirna. Nathan menanyakan pertanyaan itu ternyata karena ada maksud lain.

"Hmmm, aku rasa karena hanya kami berdua yang suka melihat rasi bintang." Indah mencoba berpikir positif.

Saat kejadian itu Indah memang tidak berpikiran buruk dengan Sena. Sena kelihatannya anak yang baik. Selama peliputan di Desa Lapang, Sena banyak membantu Indah berkomunikasi dengan para warga lokal. Makanya Indah merasa nyaman berada dekat dengan pria itu.

Nathan menuang Anggur ke dalam gelas sloki. Menenggak minuman beralkohol tinggi itu dalam sekali tegukan.

"Jangan kebanyakan minum, nanti kalau kau mabuk bagaimana?" Indah menimpuk bahu Nathan. Meminta pria itu berhenti minum.

Nathan terkekeh. Pipi penuh jerawat meradang itu mulai terlihat memerah setelah meminum Anggur tadi. Kepala Nathan menggeleng pelan. Menunjuk ke arah gelas sloki di hadapannya. "Cuma minum segini tidak bakal berefek apa-apa denganku, Indah."

Indah menghela napas. Pria ini, benar-benar, ya. Karena ulahnya ia jadi tidak bisa fokus menyelesaikan bahan presentasinya.

***

Sena menyunggingkan senyum pada Indah. Hari ini Soni absen menjemput gadis itu di hotel. Ia baru selesai melakukan wawancara dengan calon Pemain Timnas Diaspora bernama Jens Raven. Mereka membuat janji wawancara pukul 3 dini hari, artinya di Belanda sana masih sekitar pukul 10 malam.

"Selamat pagi." Wajah berhiaskan lesung pipi itu menyapa ramah Indah.

Gadis itu balas tersenyum. Mengeratkan pegangan tangan pada tali tas. Berhubung Soni absen, Indah mengirimkan pesan WhatsApp minta dijemput oleh Sena. Beruntung ternyata Sena mau menjemput Indah di hotel karena rumah Sena searah dengan hotel Fairmont.

"Siap berangkat ke kantor Kumparan?"

Indah mengangguk antusias.

Kedua orang itu berjalan bersisian menuju parkiran hotel. Indah sempat membatin dalam hati, mengapa mereka malah berjalan menuju parkiran motor. Memang mobil Sena kemana?

"Eh, sorry Indah, mobilku sedang dipakai Ayahku. Tidak apa-apa kan kalau kita naik motor ke kantor Kumparan?" Sena membaca ekspresi bingung di wajah Indah saat mereka berdua berhenti di depan motor matic bergaya Vespa jadul.

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang