Bab 7. Astaga Naga

727 91 2
                                    


Sambil menyeruput sum-sum tulang sapi, Soni menatap penuh selidik wajah Indah.

"Kau ada hubungan apa dengan Nathan, huh?"

Indah yang akan menyendok kuah sup ayam, balik menatap wajah chubby Soni.

"Hubungan? Maksudnya?"

Soni mencondongkan badan ke depan. Berbisik pelan. "Kau tidak lihat respon Nathan tadi bagaimana? Dia sangat khawatir dengan dirimu." Mata sipit itu melirik ke arah rombongan Nathan yang tengah menyantap makan siang. Mangkok dan piring-piring mereka saling berkelontangan. Bercakap ramah dalam tiga bahasa berbeda. Indonesia-Belanda-Inggris.

Indah tersenyum datar. Mengaduk-aduk kuah sop agar kaldu dan nasi tercampur merata.

"Nathan itu temanku saat bersekolah di Rotterdam."

"Oh ya?"

Indah mengangguk. Lehernya terjulur menyeruput es cendol dari sedotan.

"Wow, ini enak sekali!" Gadis itu terbelalak kaget dengan rasa es cendol pesanannya. "Kau harus coba, ini sangat enak. Serius!" Menyodorkan gelas pada Soni.

Soni mengambil gelas es cendol Indah. Sedikit segan menyeruput es dari bekas sedotan gadis itu.

"Bagaimana? enak, kan?" Indah antusias menunggu respons Soni.

Bibir Soni mengerucut. Berpikir sejenak. Ia tidak tahu dimana letak istimewanya rasa es cendol ini. Semua rasa es cendol sepertinya sama saja.

"Bagaimana?" Indah masih antusias menunggu jawaban Soni. Matanya berkilat penuh semangat.

"Hmmm, ya enak. Seperti es cendol pada umumnya."

Indah tersenyum lebar. Mata sipitnya melengkung setengah lingkaran menyisakan helai bulu mata lentiknya.

Soni tertegun. Mengingat-ingat wajah yang mirip dengan ekspresi senyum Indah itu.

"Wajahmu mirip Chef terkenal disini, Indah."

Mata Indah mengerjap. "Oh ya? Siapa?"

Soni menggaruk kepala. Lupa dengan nama Chef itu. Ia hanya ingat, Chef itu menjadi juri dalam acara memasak di salah satu stasiun TV Swasta. Wajahnya yang tegas, terkesan dingin, namun begitu digilai kaum Adam se Indonesia Raya berkat pesona yang dimilikinya.

"Aku lupa, nanti akan kucari tahu."

Indah mengedikkan bahu. Kembali sibuk memakan menu yang terhidang di atas meja.

***

Rombongan punggawa Timnas lebih dulu meninggalkan restoran. Tidak banyak bicara, mereka hanya melambaikan salam perpisahan pada Soni dan Indah. Terkecuali satu orang yang badannya paling mungil diantara kedua punggawa Timnas itu. Dia melengos pergi membuntuti pria berjas tanpa sedikitpun menoleh ke meja Soni dan Indah.

"Jadi kau itu teman Nathan?" Menyambung percakapan mereka tadi, Soni kembali menatap serius wajah Indah.

Indah mengangguk. "Iya."

"Wah, dunia benar-benar kecil sekali, Indah." Soni menggeleng-gelengkan kepala.

"Memang kenapa kalau aku temannya Nathan?"

Soni kembali mencondongkan badan ke depan. "Kau harus berhati-hati. Dia punya banyak fans disini. Fansnya militan. Berani mengulik segala hal tentang Nathan sampai ke akar-akarnya."

Indah mendesis. Teringat kejadian di Bandara tadi. Betapa hebohnya para remaja bertubuh mungil jejeritan meneriaki Nathan saat pria itu keluar dari Bandara.

"Ya... Baguslah. Dia pantas mendapatkan itu. Dia bermain bagus di klubnya dan pernah mendapat penghargaan juga."

"Kau juga tahu tentang itu?"

Indah mengangguk. Menyuap potongan sate sebelum menjawab pertanyaan Soni. "Ya, dia cukup terkenal di Belanda. Salah satu pemain yang digadang-gadang bakal tembus ke Timnas."

"Tapi dia gagal seleksi Timnas karena mengalami cedera saat remaja, kan?"

Indah tersedak. Teringat akan kejadian hidung Nathan yang patah karena ulahnya.

"Eh, eh, pelan-pelan makannya, Indah." Soni kembali bangkit dari kursi. Hendak membantu menepuk punggung Indah.

Indah mengangkat tangan ke udara. Menahan langkah Soni. Dia baik-baik saja, hanya sedikit kaget mendengar ucapan pria itu.

Orang-orang ini hanya tahu Nathan gagal masuk seleksi Timnas Belanda karena mengalami cedera kaki. Tapi mereka tidak tahu, ada kejadian konyol lain yang melatarbelakangi gagalnya Nathan masuk Timnas Belanda usia muda.

***

Bagaimana kalau sampai cegils-cegils Nathan tahu orang yang menyebabkan hidung Nathan bengkok itu adalah dirinya?

Indah mengerjap saat Soni menekan beruntun klakson mobil. Pria itu kesal melihat pemotor seenak jidat mengambil jalur mobilnya. Marah-marah tidak jelas dengan aksen Bahasa Indonesia yang tidak dipahami Indah.

"Maaf ya Indah, Jakarta memang semacet ini." Soni menoleh. Sisa ekspresi marahnya masih membekas di wajah chubby itu.

Indah tersenyum datar. Ia akan secepatnya beradaptasi dengan kondisi Kota Jakarta.

"Eh, tadi apa nama hotelmu?"

Indah kembali mengecek E-mail yang dikirimkan Robin.

"Fairmont Hotel."

Soni terbelalak. Menatap Indah tak percaya. "Kau sungguhan menginap di hotel itu?"

Indah mengangguk. Menunjukkan E-mail pada Soni. "Kau baca sendiri. Fairmont Hotel. Maxime yang membookingkan hotel ini selama aku di Jakarta."

Soni bersorak riuh. Seperti sedang melakukan selebrasi kemenangan. Indah di sampingnya terkaget-kaget saat Soni memukul klakson mobilnya.

"Kau benar-benar membawa keberuntungan, Indaahhhh!" Soni gemas ingin meraih kepala Indah, tapi gadis itu dengan cepat menghindar menurunkan sandaran kursi. Soni hanya berhasil meraih udara kosong di depannya.

"Sebentar, sebentar, beruntung apa ya maksudnya?" Indah menarik sandaran kursi. Badannya kembali tegap ke posisi semula.

"Kau tahu, itu hotel tempat para pemain Timnas menginap selama bertanding di Jakarta."

Indah membeku. Ekspresinya sangat bertolak belakang dengan wajah kegirangan Soni.

Satu hotel? Artinya selama disana Indah akan bertemu orang-orang itu?

Bertemu dengan Nathan Tjoe-A-On?

Astaga Tuhan! 


𝘽𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙗𝙪𝙣𝙜

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang