Bab 12. Dia Ada Dimana-mana

693 80 4
                                    


Pipi Indah merona. Rekahan bara api unggun kalah merah dibanding pipi gadis itu.

"Cieeee." Soni tertawa. Mendorong tubuh Indah dengan sikunya.

Gadis itu terhuyung. Nyaris hilang keseimbangan. Pesan dari Nathan berhasil membuat Indah salting brutal. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan. Tidak ingin Soni melihat wajah merahnya.

"Hmmm, jadi seperti ini ternyata selera Nathan? Aneh juga." Soni tertawa membaca ulang pesan dari Nathan. Menggeleng-gelengkan kepala.

Sebuah ranting kecil tiba-tiba mendarat di kepala pria itu.

"Berani-beraninya kau mengirim fotoku pada Nathan!" Menyadari Soni sudah melakukan pelanggaran privasi. Indah kembali menimpuk kepala pria itu dengan benda tumpul.

Soni meringis. "Memang apa salahnya? Bukannya kalian berteman?"

"Tapi kita berdua bukan teman akrab, Soni. Aku sudah lama tidak bertemu dia. Kebetulan saja saat ke Jakarta, kita berada di pesawat yang sama."

"Tidak ada kebetulan yang terjadi di dunia ini, Indah. Bahkan alam semesta saja memerlukan waktu jutaan tahun untuk bisa terbentuk." Soni berkata bijak.

Indah tertawa. Meraba kening Soni. "kau kenapa? Sakit, kah? Atau hipotermia?" Aneh dengan sikap Soni yang mendadak berubah bijak begini.

Soni menepis tangan Indah dari keningnya. Gadis itu masih tertawa terbahak. Riang sekali wajahnya menertawakan ekspresi kesal Soni.

Api unggun di hadapan mereka berkobar kian besar saat Soni merebut ranting dari tangan Indah. Kalau tidak buru-buru disingkirkan, akan ada timpukan kedua, ketiga, keempat setiap kali Soni salah bicara.

Indah menjulurkan telapak tangan ke arah api unggun. Membiarkan hangat api merambat perlahan di permukaan kulitnya.

"Indah, kau mau tidak hari Kamis nanti menonton pertandingan Timnas denganku?"

Indah menoleh.

"Aku punya satu tiket. Punya pacarku. Dia tidak bisa datang karena ada kerjaan di luar kota. Kau mau, tidak?" Soni menunggu jawaban Indah.

Gadis itu menarik tangannya dari api unggun. Menempelkan di kedua pipi. "Gratis?"

Soni mendengus. "Dasar Chiband. China Belanda. Bayar, lah. Kau pikir harga tiket itu murah. Aku saja perlu perjuangan besar untuk mendapatkannya. Harus war dengan para cegils-cegils Nathan."

Indah mengela napas. Memandang ke arah langit malam. Langit terlihat cerah. Barisan bintang berkelipan di antara sinar rembulan. "Aku tidak suka pertandingan bola, Soni."

Soni menarik kakinya dari posisi selonjoran, menjadi memeluk kedua lutut. Menatap serius Indah.

"Ayahku meninggal karena menonton pertandingan bola. Saat itu ada pertandingan besar. Tim yang didukungnya menang di kandang lawan. Tiba-tiba terjadi kekacauan, ada yang melempar bom asap, melempar flare. Orang-orang lari menyelamatkan diri. Terinjak-injak. Ayahku menjadi salah satu korban dalam kejadian itu."

Soni terenyak. Mengelus punggung Indah melihat air muka gadis itu berubah sendu.

"Makanya aku selalu menolak perintah Maxime setiap kali dia menyuruhku meliput pertandingan Eredivisie. Aku selalu terbayang kejadian ayahku saat berada di stadion."

Indah menyeka kristal bening di sudut matanya. Tersenyum getir. "Maaf aku jadi agak emosional begini."

Soni ikut terbawa suasana. Menyenderkan badan di samping Indah sambil mengelus punggung gadis itu.

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang