Bab 16. Kejutan

711 83 2
                                    


Kabar tamu hotel Fairmont yang terserang DBD sampai ke Petinggi PSSI.

Malam itu usai beramah-tamah makan bersama para keluarga punggawa Timnas Diaspora. Petinggi PSSI memanggil Dokter Timnas dan Coach Shin Tae Yong untuk membicarakan kondisi anak asuh mereka.

"Kita tidak ingin mengambil resiko, Coach. Saran saya, lebih baik anak-anak ini mendapat pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit." Erick Thohir selalu Ketua Umum PSSI melontarkan pendapatnya dalam rapat dadakan di hotel Fairmont.

Coach Shin memijit dagu. Ia sedang mendengarkan serius terjemahan ucapan Erick dari penerjemahnya.

"Benar, Pak Erick. Apalagi gejala DBD memang sulit terdeteksi. Penyakit DBD mirip dengan demam biasa. Saya takut kejadian anak-anak sakit setelah melawan Timnas Vietnam terulang kembali." Dokter Alfan, selalu Dokter yang menangani Timnas, ikut mengiyakan saran Pak Erick.

Coach Shin mengangguk. "Ya, baiklah. Saya setuju dengan saran kalian. Kita harus melakukan yang terbaik untuk anak-anak ini. Jangan sampai kondisi mereka tidak fit saat bertanding melawan Timnas Philipina, karena ini satu-satunya cara agar kita bisa lolos ke Kualifikasi Piala Dunia ronde selanjutnya."

Rapat ditutup dengan kesepakatan bersama bahwa para punggawa Timnas akan melakukan pemeriksaan kesehatan besok hari.

Dan, dalam kesepakatan itu, Erick Thohir selaku ketua PSSI memilih Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebagai tempat pemeriksaan para punggawa Timnas Indonesia.

***

Saat tahu Pak Erick Thohir memerintahkan para punggawa Timnas memeriksa kondisi kesehatan mereka di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Nathan mendadak bersorak riuh di kamar hotelnya.

Sepanjang acara ramah-ramah tadi, Nathan banyak menghabiskan waktu chattingan dengan Soni. Ia terus menanyakan bagaimana kondisi Indah. Sudah minum obat, belum. Demamnya sudah turun, apa tidak. Sikap Nathan yang acuh pada sekelilingnya menjadi buah bibir di sosial media. Ia dikatai cuek, hape teros, sibuk sendiri dengan dunianya.

Namun, Nathan tidak peduli dengan pendapat orang-orang. Dia adalah dia. Peduli setan orang-orang ingin mengatainya apa. Yang terpenting ia sudah membuktikan kualitas permainan bolanya di lapangan hijau.

"Kau kenapa?" Thom Haye yang baru keluar dari toilet menatap heran pria itu.

Nathan tersentak. Menggaruk kepala. Tersenyum salting pada Thom.

Thom Haye duduk di ujung tempat tidur Nathan. Menatap serius. "Kau baru menang Lotere, ya?"

"Astaga?" Pria itu terkejut. Bisa-bisanya teman sekamarnya ini berpikiran yang tidak-tidak dengannya.

Thom Haye menjentikkan jari. "Benar kan kau menang lotere? Katakan, berapa bonus Timnas yang kau taruhkan untuk mendapat hadiah itu?"

Kepala Nathan menggeleng tegas. "Tidak. Aku tidak ikut lotere. Aku baru mendapat pesan dari Mamaku." Pria itu beralibi.

Thom Haye mendeteksi kebohongan di wajah berjambang itu. "Kau sedang berbohong, ya?"

Alis Nathan terangkat, "Tidak. Aku tidak bohong. Mamaku baru mendapatkan tiket murah ke Indonesia. Dia akan berangkat bersama Kakakku dan pasangannya." Pria itu melanjutkan alibinya dengan penuh keyakinan.

Thom Haye bangkit dari tempat tidur. Semudah itu memercayai ucapan Nathan.

Saat Thom Haye izin keluar menemui keluarganya, Nathan buru-buru menelepon Soni.

"Hey, Soni. Aku ada kabar bagus."

Soni yang tengah terjebak kemacetan Kota Jakarta. Buru-buru memasang earpod untuk memudahkan komunikasi dengan Nathan. "Kabar apa, bro?"

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang