Bab 15. Bukan Sakit Biasa

714 91 3
                                    


Kenyataannya kabar Indah memang tidak baik-baik saja.

Sepanjang malam, Indah hanya meringkuk di balik selimut. Tolak Angin dan Salonpas tidak bekerja maksimal mengatasi sakit-sakit di badannya.

Pukul 3 dini hari Indah bangkit dari tempat tidur. Gadis itu meletakkan telapak tangan di kening. Hangat. Keningnya terasa hangat. Gadis itu beranjak turun dari tempat tidur mencari kotak P3K di laci lemari.

"40?" Indah tersentak membaca hasil pengukur suhu badan pada alat termometer.

Belum habis keterkejutannya membaca hasil termometer, ponsel Indah tiba-tiba berdering.

"Max." Indah baru mendapat telepon dari Maxime. Bosnya di NBC News.

"Hey, Indah. Bagaimana kabarmu? Sudah kau siapkan bahan untuk presentasi besok?"

Indah menggaruk-garuk kepala. Bagaimana ia menyiapkan bahan presentasi? Untuk bangun dari tempat tidur saja badannya sangat lemas.

"Hey, Indah. Kau baik-baik saja?" Max di balik ponselnya mendengar helaan napas Indah yang terdengar berat.

"Ya. Akan aku usahakan menyelesaikannya, Max." Indah menjawab lemah. Gadis itu berusaha menyenderkan badan di sandaran tempat tidur.

"Kau baik-baik saja? Biasanya kau tidak begini saat menjawab telponku."

Indah mengganti posisi ponsel ke telinga kiri. "Aku sepertinya sakit, Max." Memijit-mijit tengkuk kepala yang terasa berat.

Max tertegun. Indah sakit? Dua kata lucu. Gadis itu tidak pernah kelihatan sakit selama bekerja di NBC News. Selalu bersemangat melakukan tugas berat darinya. Tapi, kenapa saat ditugaskan liputan di Indonesia, gadis itu malah jatuh sakit. Padahal tugas yang Max berikan bukanlah tugas berat penuh resiko seperti saat mengirim Indah liputan ke daerah konflik di Rusia sana.

"Sakit apa? Sudah minum obat, belum?"

Indah kembali mengganti posisi ponsel ke telinga kanan. "Soni bilang sakit masuk angin. Dia memberiku obat-obatan herbal, tapi sepertinya tidak berefek apa-apa dengan badanku."

"Sakit masuk angin? Sakit apa itu, Indah?" Max di balik ponsel menahan tawa mendengar ucapan Indah.

Gadis itu mengerling. Respons Max kurang lebih sama seperti saat Indah mengatakan penyakitnya ini pada Nathan. Mereka seakan tidak percaya kalau di Indonesia memang ada penyakit bernama masuk angin.

"Ya, sudah. Kau hubungi Soni minta diantarkan dia ke rumah sakit." Max memberi saran.

"Tidak bisa, Max. Soni sibuk, dia petang nanti ada liputan ke stadion karena Timnasnya akan bertanding. Aku juga tidak enak minta dijemput Soni dini hari begini. Takut mengganggunya istirahat."

"Kalau begitu kau hubungi resepsionis, minta sopir hotel mengantarkanmu ke rumah sakit. SEKARANG JUGA. JANGAN NANTI-NANTI!" Maxime memerintah tegas.

Indah duduk tegap. Suara tinggi Maxime seketika mengenyahkan rasa sakit di sekujur tubuh gadis itu.

Indah bergegas ke meja rias mencari handbag dan tasnya. Ponsel sengaja ia setting ke mode speaker agar suara Max masih bisa dengar jelas telinganya.

Maxime masih bicara banyak lewat sambungan telepon. Menyuruh Indah membawa semua berkas-berkas ke rumah sakit untuk memudahkan proses administrasi, menyuruh membawa baju ganti, perkakas mandi. Gadis itu kelimpungan menyiapkan barang-barang di tengah kondisi badannya yang lemas tak berdaya.

Indah mengela napas melihat sisa uang cash di dompet. Ia terlalu hedon berbelanja di mall beberapa hari lalu sampai tidak menyiapkan dana darurat untuk situasi seperti ini.

C'est La VieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang