ENAM

795 103 11
                                    

Shani terbangun di pagi hari untuk pertama kalinya tanpa merasa pusing, mual, dan pandangan yang gelap. Senyum mengembang di wajah cantiknya. Bukan karena dia mengingat semalam menangis di pelukan seorang Shania Gracia, tapi karena dia berhasil melalui malam tanpa harus bermabuk-mabukan. Shani duduk di pinggir tempat tidurnya dan mengambil ponselnya. Ada beberapa pesan. Tapi Shani hanya membuka pesan dari Gracia.

Gracia

"Kau berjanji hari ini mengajakku berkeliling Jogja sebelum aku kembali ke Jakarta. Am waiting."

Shani mengerutkan keningnya setelah membaca pesan dari Gracia. Shani pun menelpon Bumi untuk menjemput Gracia di hotelnya. Setelah itu, Shani keluar dari kamarnya. Keningnya kembali berkerut karena dia tidak melihat Sisca yang biasanya sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuknya. Jam di layar ponselnya baru menunjukan pukul 08.00. Sisca akan berangkat ke restoran pukul 10 pagi atau setidaknya setelah dia memastikan Shani sudah bangun dan sarapan.

Shani menelpon Sisca namun tidak dijawab. Beberapa kali dia mencoba menelpon, tetap tidak ada jawaban. Shani pun keluar dari apartemennya menuju apartemen Sisca yang terletak persis disampingnya. Shani langsung memasukan pin. Shani dan Sisca berbagi pin untuk berjaga-jaga dari hal yang tidak mereka inginkan.

"Sisca," Panggil Shani pelan sambil berjalan masuk menuju ruang tamu. Kosong. Dapur, kosong. Shani pun berjalan menuju kamar Sisca.

"Sis," Shani mengetuk pelan pintu kamar Sisca. Tidak ada jawaban. Shani membuka pintunya yang ternyata tidak di kunci. Dia mengerutkan keningnya melihat Sisca masih terbaring di tempat tidurnya.

"Sis," Panggil Shani pelan sambil berjalan menghampiri Sisca.

"Sisca, are you okay?" Shani mulai panik saat melihat wajah Sisca berkeringat dan pucat.

"Sis," Shani memegang kening Sisca.

"Astaga Sisca, kau demam." Shani tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya.

"Shani," Panggil Sisca Lirih.

"Aku akan menelpon Kak Bumi. Kita ke dokter." Shani hendak menelpon Bumi, namun dicegah oleh Sisca.

"Tidak perlu ke dokter. Kau bisa mengompres ku, kan?" Tanya Sisca dengan lirih karena menahan pusing.

"Ah, baiklah. Aku akan ambil air untuk mengompres mu." Shani bangun dan berjalan keluar untuk mengambil air kompresan.

Tidak lama kemudian, Shani sudah kembali dengan membawa wadah kecil berisi air dan handuk kecil. Lalu dengan cekatan dia mengompres Sisca. Bersamaan dengan itu ponselnya berdering. Bumi menelponnya.

"Shani, kau dimana? Aku dan Gracia sudah di tempatmu."

"Aku ditempat Sisca. Cepatlah kesini Sisca sedang sakit. Ajak Gracia juga."

"Baiklah."

Shani memutus sambungan teleponnya. Mendengar nama Gracia, hati Sisca kembali sakit dan sesak.

"Shani," Panggil Sisca.

"Ya, Sis. Ada apa?" Tanya Shani.

Belum sempat Sisca menjawab, Bumi dan Gracia datang. Mereka langsung masuk ke kamar Sisca.

"Shan, Sisca sakit apa? Kita tidak membawanya ke dokter?" Tanya Bumi.

"Aku tidak apa-apa, Kak." Jawab Sisca lalu melirik Gracia yang berdiri di antara Shani dan Bumi.

Ah, lagi-lagi penampilan Gracia yang sempurna membuat Sisca terintimidasi. Lagi-lagi dadanya terasa sesak.

Melihat tatapan Sisca pada Gracia, membuat Shani melirik Gracia sekilas. Shani mengerti apa yang ada di pikiran Sisca. Shani pun berdehem untuk menetralkan suasana.

Sure ThingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang