9.

1.2K 160 25
                                    

"Hei, Al? Kau masih di sana? Ada apa?" Suara Maxim bertanya dari telepon.

"Aku dalam masalah sekarang, Max. Kakakmu..." Alice berbicara seperti kehabisan napas.

"Apa? Kakakku ada di sana bersamamu?" Ujar Maxim dengan nada terkejut.

"Ya, dan dia mendengar semua yang kau katakan, dan sekarang dia tahu kalau kita bukan sepasang kekasih dan dia akan menjadi gila dan akan membunuhku." Alice berbicara sangat cepat, mafia gila yang jahat di luar sana, dia akan membunuhnya.

"Hei, jangan konyol. Kakakku tidak akan membunuhmu, dia pria yang baik."

"Apa? Pria yang baik? Kau pasti bercanda, Maxim. Kakakmu, dia..." Alice akan mengatakan Sebastian adalah pria yang jahat dan semua yang dia pikirkan. Tapi kemudian ia menghentikan lidahnya tepat waktu.

Maxim masih tidak tahu kalau kakaknya mencium Alice dan berusaha mengejarnya serta mengancamnya seolah dia adalah musuhnya. Maxim senang saat dia memberitahunya akan pindah bekerja di cabang Las Vegas, namun kabar terbaru tentangnya menjadi sekretaris baru kakaknya, Alice belum memberitahunya.

Dia tidak ingin Maxim khawatir, dan bahkan tahu tentang semua ini, tapi apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Alice harus terus menyimpannya untuk dirinya sendiri, setidaknya untuk saat ini, hanya demi Maxim. Alice menyayanginya, tidak ingin Maxim merasa tidak nyaman mengetahui kalau teman dan kakaknya akan saling membunuh.

"Kakakku...apa?" Suara Maxim kembali terdengar melalui ponsel.

"Tidak, tidak apa-apa, lupakan saja, ngomong-ngomong, kau mencium Rose huh." Alice meledek, mengganti topik dan juga mengubah nada bicaranya. Dia merasa sedikit tenang sekarang.

"Ya. Gadis itu, dia membuatku gelisah, kurasa aku tahu cara membungkamnya sekarang." Ujar Maxim seolah dia akan mencium Rose setiap kali gadis itu kesal, hanya untuk membungkamnya. Hmm, kedengarannya itu alasan yang buruk untuk mencium seorang gadis. Alice sempat memperhatikan Maxim merasakan sesuatu pada Rose, di antara keduanya ada perasaan khusus yang terjadi.

"Hei, jangan jadi pengecut, Maxim, kau sudah lama ingin menciumnya dan sekarang kau menyukainya, itu masalahnya, terimalah." Alice pun menggodanya. Maxim terdiam beberapa saat.

"Apa? Siapa yang ingin mencium Rose, kau bercanda kan? Aku kesal sekali, berpikir untuk pindah dan tinggal sendiri." Balas Maxim cepat seolah dia merasa harus mengatakan sesuatu, tidak terima dengan apa yang Alice coba tuduhkan padanya.

"Sungguh, itu akan bagus untuk Rose.
Kudengar banyak pria tampan di luar sana yang ingin mengenalnya."

"Really? Apa dia memberitahumu hal itu? Kenapa aku tidak tahu tentang ini? Siapa? Pria yang mana?" Rentetan pertanyaan menyusul begitu Alice selesai membuat Maxim penasaran, cemburu huh?

"Banyak di luar sana. Jangan terlalu lambat Maxim. Aku peringatkan mu."

"Peringatkan aku tentang apa?"

Alice menggeleng... dokter bodoh.

"Yah, menurutku saat ini, otakmu agak tumpul seperti cuaca Inggris. Aku tidak akan mengatakannya lagi, biar kau memikirkannya sendiri. Aku berangkat sekarang, aku akan bicara denganmu lagi nanti, oke? Oh, satu lagi, kau bukan pria pertama yang mencium Rose."

"Apa? Siapa lagi???" Maxim berteriak tanpa sadar, Alice tertawa, merasa lebih baik sekarang karena dia bisa menularkan buah buruknya pada orang lain.

"Itu rahasia. Kau tahu kan, seorang wanita tidak pernah melupakan ciuman pertamanya, dan sayangnya, ciumanmu bukan yang pertamanya, maaf Maxim aku arus pergi sekarang, nanti kita bicara lagi, sampai jumpa."

Timing The Las Vegas PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang