28.

901 113 7
                                    

Ben dan Jame saling berpandangan. Ada banyak hal yang tidak boleh mereka katakan.

Jadi mereka akan menyimpannya untuk diri mereka sendiri seperti yang mereka simpan selama ini. Seperti kata pepatah, kau tidak bisa menilai buku dari sampulnya. Sampul Sebastian Alexander akan sangat menakutkan, tapi di dalamnya mungkin tidak seperti apa yang orang pikirkan.

"Kalian berdua adalah pengawalnya. Jadi, aku mengerti, kalian harus melindunginya. Tapi aku memandangnya berbeda dari bawahannya sendiri." ujar Alice.

"Jika kau ingin membicarakanku di rumahku sendiri, kau harus menunggu sampai aku keluar dulu demi sopan santun!" Suara kasar itu diumumkan sebelum sosok jangkung itu melangkah ke dapur.

Ben dan James terlonjak sedikit dan tersenyum canggung.

Sebastian mengenakan T-shirt hitam dan celana pendek olahraga. Wajahnya basah oleh keringat. Dia menggunakan handuk kecil untuk menyekanya.

"Wow, selesai dalam satu jam, bos." James berkata lebih dulu karena tidak ada yang menanggapi bosnya.

"Ya." Sebastian menjawab dengan satu kata. Matanya menatap ke belakang sang chef yang fokus mengaduk sesuatu di atas kompor dan tidak repot-repot menoleh untuk menyambutnya.

"Kalian berdua mandilah." Ucap Sebastian pada Ben dan James. Mereka tidak ragu-ragu untuk pergi begitu saja.

Aroma makanan itu menghantarkan aroma yang mengingatkan Sebastian pada rumah ibunya. Arti kata "rumah" bagi adalah hangat dan tercium aroma masakan di seluruh tempat seperti ini. Dia tersenyum kecil ketika memikirkan ibunya. Sudah lama sejak kunjungan terakhirnya. Ia akan segera menghubunginya.

"Jangan terlalu banyak cabai. Aku tidak suka makanan pedas." Ucap Sebastian ketika melihat Alice memasukkan sesuatu yang berwarna merah ke dalam panci. Sebastian berjalan untuk berdiri di belakang sosok ramping itu. Meletakkan dagunya di atas bahu Alice untuk melihat ke dalam panci.

Isinya sayuran berwarna-warni, hijau, merah, kuning, orange. Kelihatannya sangat bagus dan baunya enak.

"Kau tidak tahu kalau cabai baik untuk kesehatanmu?" Alice menoleh, membuat pipinya menyentuh hidung Sebastian saat pria itu bermaksud untuk mencium bau kulit Alice untuk dibandingkan dengan makanan untuk memutuskan mana yang lebih bisa dimakan.

"Kalau terlalu pedas, lidah ku akan terbakar dan aku tidak bisa merasakan rasa makanan yang sebenarnya. Kalau kau tidak bisa mencicipi makanannya, kau tidak akan menikmatinya. Mengerti?" Sebastian memberi tahu alasannya.

Sepertinya pria ini sudah tenang setelah menghabiskan satu jam untuk membakar amarahnya di ruang fitness.

"Ini namanya tumis sayur. Dan ini cabai manis, tidak pedas tapi cabai aslinya seperti ini." Alice menunjuk cabai merah pedas. "Tapi, rasanya tidak terlalu pedas, hanya akan membuat hidungmu sedikit berkeringat." Alice merasa terkadang harus menceramahi Sebastian tentang manfaat makan cabai.

Laki-laki bertubuh tinggi besar ini tidak takut dengan peluru, tapi terlalu banyak mengeluh tentang cabai yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan peluru. Dia berdiri di belakangnya seperti itu sampai Alice selesai memasak.

Alice kemudian mematikan kompornya. "Oke. Semuanya sudah selesai. Kau bisa mencucinya."

Sebastian segera mengerutkan kening. "Apa? Kenapa aku?" Dia merengut, mengira Alice mengacau lagi, seperti tadi malam.

"Lihat. Semua orang harus bekerja dan melakukan sesuatu di dapur. Ben, James, dan aku, kita semua membantu membuat semua makanan enak ini. Dan bagaimana denganmu? Kau sudah melakukan sesuatu, huh?" Ujar Alice  seperti berbicara dengan anak kecil.

Timing The Las Vegas PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang